Rabu, 17 Maret 2010

“Pendidikan Profetik, Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Indonesia”

“Pendidikan Profetik, Rekonstruksi Paradigma Pendidikan Indonesia”
Manusia pada dasarnya memainkan peranan yang menentukan dalam perwujudan dan pergantian kurun sejarah, dapat tidaknya manusia menangkap tanda-tanda zaman tergantung dalam menangkap realitas, oleh karena itu kemampuan mengembangkan sikap kritis dan kecenderungan menyesuaikan diri menjadi bagian dari semangat zamannya. Suatu tragedi besar telah menimpa manusia modern ialah bahwa mereka dikuasai oleh kekuatan mitos-mitos dan dimanupulasi oleh iklan-iklan yang jitu, kampanye ideologi, maka lambat laun manusia tanpa menyadari tidak mampu lagi menangkap tugas-tugas zaman, tetapi hanya menerima penafsiran-penafsiran yang dibuat oleh kaum elit yang berkuasa, dalam kondisi ini manusia akan tenggelam tanpa nama, tanpa harapan dan kepercayaan diri (Paulo Freire).


Kutipan panjang di atas yang ditulis oleh tokoh besar pendidikan dari Brazil Paulo Freire sekitar tahun 70an, ternyata menjelma menjadi suatu realita di era millennium ini. Suatu realita yang sedang berkembang di setiap sendi kehidupan masyarakat dunia tak terkecuali di negeri ini. Realita yang menggambarkan betapa gurita kapitalisme telah menggagahi seluruh pelosok dunia termasuk negeri-negeri Muslim seperti Indonesia.
Gurita kapitalisme itu pada akhirnya membawa pada perubahan paradigma masyarakat dalam memandang kehidupan ini. Paradigma yang kemudian menjelma menjadi aksi atau tindakan. Begitu pula yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Paradigma kapitalisme dalam dunia pendidikan pada akhirnya melahirkan kebijakan dari pemerintah yang lebih menguntungkan pemegang-pemegang modal didalamnya.
Mengamati kondisi pendidikan di Indonesia saat ini secara umum, nampak gurita kapitalisme sangat melekat kuat didalam tubuh sistem pendidikan Indonesia. Hal itu terlihat dari kebijakan para stake holder pendidikan Indonesia yang masih menggunakan berbagai alat ukur (evaluasi pembelajaran, kurikulum, teknik, metode dll) serta tolak ukur pendidikan dari dari dunia Barat. Padahal kondisi masyarakat, sejarah, perkembangan sosial antara masyarakat di Indonesia dan Barat tentu berbeda. Mungkinkah ini sebagai salah satu indikasi krisis perkembangan ilmu pengetahuan dari bangsa ini? Bisa jadi.
Moh Sofan menggambarkan kondisi tersebut didalam bukunya Pendidikan Berparadigma Profetik bahwasanya dalam beberapa dasawarsa terakhir ini mulai berkembang pandangan tentang kegagalan modernitas dan modernism Barat-yang sebagiamananya juga terlanjur diadopsi kaum Muslim, termasuk dalam lapangan pendidikan-dalam memenuhi “janji-janjinya untuk mensejeterahkan kehidupan manusia baik lahir maupun batin melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.
Jati diri bangsa Indonesia sebagai negara maritim dan agraris semakin lama kian tergilas oleh arus kapitalisme yang tumbuh di dekade ini. Paradigma pendidikan yang dibentuk oleh para stake holder dan akademisi yang kemudian diberikan kepada anak bangsa ini sering memarginalkan jati diri Indonesia sebagai negara maritim dan agraris. Profesi sebagai petani dan nelayan menjadi profesi yang semakin terpinggirkan dibandingkan profesi seorang programmer komputer. Padahal potensi alam Indonesia di bidang agraris dan kelautan luar biasa.
Selain kondisi di atas, generasi-generasi muda bangsa kian hari terjebak dalam budaya hedonisme. Konsumsi mereka dari food, fashion, film, sport, life style dll sehari-hari membawa pada ketumpulan mata hati mereka akan kondisi bangsa mereka sendiri. Hal tersebut, sejatinya bukanlah kesalahan hanya generasi muda saja, akan tetapi faktor dominan yang juga berpengaruh besar yaitu lingkungan pendidikan dan sosial.
Ketumpulan mata hati para generasi muda tersebut pada ujungnya berimbas pada ketidakpedulian mereka akan carut marutnya realitas sosial yang sedang terjadi. Itulah hasil dari sistem pendidikan Indonesia yang sedang berjalan hingga detik ini. Pendidikan yang seharusnya mampu melahirkan manusia-manusia yang berkontribusi untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan tantangan zaman ini, justru melahirkan robot-robot yang hanya mampu menghafalkan rumus-rumus dan teori-teori tentang kehidupan.
Demikianlah produk pendidikan dari kapitalisme yang sebenarnya tidak hanya menjangkiti Indonesia tetapi juga termasuk negeri-negeri Muslim yang lain. Di Indonesia sendiri bisa jadi kondisi yang sebenarnya, lebih buruk dari kondisi di atas. Sayangnya tidak banyak pihak yang menyadari fenomena ini, padahal Indonesia sebagai negeri dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia.
Pendidikan Berparadigma Profetik
Wacana pendidikan profetik sebenarnya telah lama berkembang baik di kalangan akademisi ataupun non akademisi. Wacana ini muncul dilatarbelakangi oleh keprihatinan berbagai pihak melihat kondisi pendidikan Indonesia yang semakin lama tidak memiliki identitasnya lagi. Selain itu, juga menyikapi out put dari sistem pendidikan yang belum mampu berkontribusi bagi perbaikan Negeri Muslim ini.
Ditengah geliat berbagai konsep pendidikan yang muncul saat ini, pendidikan prophetik menjadi suatu alternatif bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan prophetik menjadi sebuah solusi atas buruknya hasil pendidikan Indonesia yang hingga saat ini masih condong memihak pada kapitalisme. Bagaimana pendidikan prophetik mampu memberikan solusi tersebut?
Sebuah ungkapan menarik tentang penyelenggarakan pendidikan Islam disampaikan oleh Noeng Muhadjir didalam bukunya Pendidikan Islami untuk Masa Depan Kemanusiaan, penyelenggaraan pendidikan Islam selama ini adalah merupakan Islamic education for the Moslems, yaitu pendidikan Islam yang diberlakukan adalah pendidikan agama Islam yang pelaksanaannya menyesuaikan dengan pendidikan modern, dan bukan pendidikan Islamic education for Islamic education, yaitu pendidikan Islam yang benar-benar dijiwai, dilandasi dan dikembangkan nilai-nilai Islami.
Berangkat dari hal diatas, maka demikianlah fenomena yang berkembang dalam aplikasi pendidikan Islam saat ini. Pendidikan prophetik yang muncul dari ajaran Islam sudah seharusnya mengambil sikap dengan tegas pada tahap pengimplementasiannya. Bahwasanya pendidikan prophetik tidak pada penyesuaian dengan pendidikan modern akan tetapi pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan nilai-nilai Islami. Proses pengembangan itulah yang kemudian dituntut untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dan serta tantangan yang muncul di dasawarsa ini.
Dikutip dari Moh Sofyan bahwa seperti yang dikatakan Kuntowijoyo, terkandung nilai-nilai profetik yang dapat dijadikan bingkai acuan dalam mengarahkan perubahan masyarakat, yakni humanisasi, liberasi dan transdensi yang merupakan derivasi dari Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakan kebaikan (humanisasi), mencegah kemunkaran (liberasi) dan beriman kepada Allah (transdensi).
Apa makna 3 pilar utama (humansasi, liberalisai dan transdensi) dalam pendidikan prophetik tersebut? Mengacu pada prophetik (prophet) yang lazimnya dikenal sebagai kenabian, maka prophetik mendasarkan suatu perubahan ataupun rekayasa sosial pada sirah Nabi. Nabi Muhammad SAW sebagai transformator yang telah membuktikan keberhasilannya melakukan perubahan sosial di jazirah Arab. Sebuah tempat yang kondisinya benar-benar bobrok dalam aqidah maupun tradisi ketika itu.
Nabi melakukan perubahan dan rekayasa dengan menerjemahkan ayat-ayat Al Quran dari bahasa langit sebagai wahyu Allah hingga menjadi suatu bahasa yang dapat dipahami oleh manusia-manusia. Suatu hal yang luar biasa, yaitu Nabi tidak saja mampu menerjemahkan wahyu langit kemudian mengakar ke bumi, tetapi juga bagaimana Nabi mampu mengkontekskan wahyu tersebut dengan kondisi masyarat dan lingkungan di jazirah Arab ketika itu. Sehingga Islam datang tidak hanya menjadi sekedar dogmatis saja, akan tetapi memberikan suatu alternatif pilihan akan suatu peradaban kehidupan yang benar-benar baru.
Semangat itulah yang dituangkan kembali oleh Kuntowijoyo dalam konsep pendidikan Prophetik. Menurut Kunto, Islam perlu dipahami sebagai dan dalam kerangka ilmu. Sebab, pola keilmuan akan lebih menjanjikan sifat yang obyektif, faktual dan terbuka. Sehingga, lewat kerangka ilmu itu, terutama yang empiris, umat Islam akan lebih bisa memahami relitas sebagaimana Al Qur’an memahaminya. Dengan cara itu, umat akan dapat melakukan transformasi sosial berdasarkan cita-cita dan prophetik searah yang ditunjuk Al Qur’an, yaitu humanisasi, liberasi dan transdensi.
Maka dalam sisi pendidikan, 3 hal dasar utama tersebut menjadi paradigma dalam mengembangkan sistem pendidikan di Indonesia. Pengembangan tersebut hingga pada dataran penyelenggaraan pendidikan di kelas. Selain itu, pendidikan prophetik juga sekaligus menghadirkan paradigma pendidikan baru yang mampu melahirkan kebijakan yang berpihak pada masyarakat pinggiran, menumbuhkan pendidikan yang berjati diri keindonesiaan dan beriringan dengan kontekstual kehidupan masyarakat.
Kuntowijoyo menjelaskan dengan humanisasi, Islam menekankan pentingnya memanusiakan dalam proses perubahan. Sedangkan dengan liberasi, Islam mendorong gerakan pembebasan terhadap segala bentuk determenasi kultural dan struktural seperti kemiskinan, kebodohan. Dan dengan transdensi, perubahan dicoba diberi sentuhan yang lebih maknawi, yaitu perubahan yang tetap berada dalam bingkai kemanusian dan ketuhanan.
Maka didalam pendidikan profetik, pendidikan tidak hanya dilakukan untuk mengejar standar kompetensi dan tujuan didalam kurikulum saja. Siswa dalam setiap sesi mata pelajaran harus diajak berdialog, berdiskusi dan mengkontekskan apa yang sedang dibahas dalam mata pelajaran tersebut dengan realitas sosial yang sedang terjadi. Sehingga siswa memiliki wawasan dan pengetahuan akan kondisi masyarakat dan lingkungan tempat ia berada selama ini.
Melalui penerapan pendidikan prophetik out put yang diharapkan, yaitu mencetak generasi-generasi muda Islam yang memiliki dan memahami jati dirinya sebagai Muslim. Kemudian siswa diarahkan dan diajak berdiskusi, berdialog dan berfikir tentang realitas sosial, hingga ia mampu memiliki sence of belonging akan masalah sosial yang muncul. Maka dengan keberislamannya ia pun sadar bahwa Islam yang ia pilih merupakan sebuah petunjuk, arahan dan solusi akan masalah sosial yang ia hadapi di lapangan.
Munculnya generasi-generasi tersebut seharusnya menjadi target besar umat Islam saat ini. Karena pendidikan Islam tidak lagi dalam posisi sekedar mengekor, mengikuti atau memenuhi kebutuhan zaman ini. Akan tetapi pendidikan Islam harus mampu menciptakan mainstream dan trend mode bagaimana pendidikan itu berjalan. Maka pendidikan prophetik merupakan salah satu solusi dalam merekontruksi bagi pendidikan Indonesia saat ini yang sedang kehilangan arah dan tidak memiliki jati diri keindonesiannya.
Sebuah kutipan menarik masih dari Moh Shofan sebagi bahan kajian selanjutnya bagi dunia pendidikan di Indonesia. Kemana pendidikan diarahkan salah satunya sangat tergantung pada pencanderaan secara filosofis tentang manusia. Kenapa manusia? Dan apa kaitannya dengan imperatif teologis-etis pendidikan dalam perubahan? Dalam perubahan, manusia menempati posisi kunci. Maka tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi atau kekuatan internal yang dimiliki oleh manusia sehingga nantinya dalam realitas kehidupan yang senantiasa mengalami perubahan tidak hanya menjadi objek, tetapi subjek perubahan.
Paradigma Peningkatan Kualitas Pembelajaran; Visi Pendidikan Indonesia 2020
DALAM masukan tertulis yang pernah saya sampaikan kepada Komite Reformasi Pendidikan (KRP) –komite ini bertugas pokok menyiapkan perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang (Sistem) Pendidikan Nasional– tertulis di sana antara lain agar yang selama ini diungkapkan dengan kosakata (Sistem) Pendidikan Nasional diganti dengan Pendidikan Indonesia.
Pemaknaan atas kata “nasional” telah menciptakan nuansa amat sentralistik, serta merta hal itu amat mempengaruhi cara pandang (paradigma) aparat birokrasi ketika (di lapangan) mengambil kebijakan tentang pendidikan. Akibat paling fatal dapat dilihat pada kegiatan pembelajaran di mana pun; bukan saja kualitas pembelajarannya yang amat teacher-oriented, tetapi seluruh prosesnya juga secara massal (nasional?) berhasil menciptakan murid menderita 3 B: bengong, bingung, dan (masa) bodoh.
Menuju tahun 2020
Pada pendahuluan buku Pengembangan Sumberdaya Manusia dalam Era Globalisasi (1997), HAR Tilaar menyebutkan lima alasan mengapa visi, misi, dan program aksi pendidikan dan pelatihan perlu “dipatok” sampai tahun 2020.
Pertama, perubahan sosial-ekonomi kesejagatan karena berbagai kesepakatan APEC, AFTA, dan lain-lain mendorong semua negara harus bersiap-siap secara menyeluruh, terutama menyiapkan manusianya.
Kedua, negara tetangga seperti Malaysia telah menelurkan Malaysia’s Vision 2020, Singapura mencanangkan The Next Lap, dan pasti negara ASEAN lainnya tidak mau ketinggalan.
Ketiga, menuju tahun 2020 –mungkin terpengaruh oleh pemikiran Toffler, Naisbitt, dan lain-lain– terjadilah perubahan gelombang politik dengan fokus/orientasi utama pada politik-ekonomi yang amat mendasar di berbagai negara. Di sini istilah negara macan ekonomi secara relatif dimaknai identik dengan “macan politik”.
Keempat, seluruh kegiatan pembangunan umumnya difokuskan kepada peningkatan/perbaikan taraf hidup manusia sesuai indikator dalam Human Development Index (HDI), yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli.
Kelima, semakin membahana tuntutan dilaksanakannya civil society (masyarakat warga).
Perubahan (penyempurnaan) sistem pendidikan nasional (UU No 2/1989) menjadi sistem pendidikan Indonesia amat beralasan kalau visi dan misinya dirumuskan sampai dengan tahun 2020. Kecuali sepakat dengan lima butir alasan Tilaar itu, selama kurun waktu sekitar 18 tahun sampai dengan tahun 2020 sangatlah memadai untuk melakukan perubahan paradigma pembelajaran sehingga sangat terukur kemajuan dan perubahannya.
Sebut saja segera akan terjadi perbaikan secara linear tentang pembelajaran mulai tahun ajaran 2001/2002; waktu yang dibutuhkan adalah: di tingkat SD membutuhkan waktu enam tahun (sehingga anak yang masuk pada Tahun Ajaran (TA) 2001/ 2002 akan lulus selama enam tahun pada akhir TA 2006/2007. Demikian juga di tingkat lanjutan pertama dan menengah, masing-masing tiga tahun dan tentu saja di bangku perguruan tinggi (meski amat variatif); sehingga sekitar tahun tahun 2012 paradigma baru pembelajaran benar-benar telah mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Bila benar demikian, kurun waktu dari tahun 2012 menuju 2020 adalah kesempatan sangat strategis menyiapkan segala sesuatunya secara teknologis.
Perbaikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di tingkat SD membutuhkan waktu paling lama, dan semua pihak hendaknya sabar dan maklum bila alokasi dana sebagian besar (harus) terserap ke sana. Dengan kata lain, peningkatan kualitas pembelajaran di SD kecuali tidak dapat ditunda-tunda, juga harus yang pertama dan utama terjadi. Bagaikan mendirikan bangunan, apa yang kita lakukan di SD ialah membangun dasar (pondasi) sebaik mungkin, agar di atas pondasi itu dapat berdiri kokoh tembok, pilar, dan sebagainya tentang sekolah lanjutan, menengah, dan tinggi. Tentang hal ini KRP perlu merumuskannya secara tegas dan jelas dalam visi, misi, dan kegiatan (sistem) Pendidikan Indonesia.
Bukan pengajaran
Memang pernah didiskusikan hal berikut: di satu pihak ada pendapat yang menyebutkan, yang terjadi di sekolah tidak lebih dari pengajaran; sementara pendapat lain mengatakan justru itulah proses pendidikan yang sebenarnya. Realistis terhadap fakta keseharian, rasanya amat tepat bila seluruh kegiatan murid sekolah (baik di sekolah, jalan, rumah, dan lain-lain) disebut sebagai pembelajaran. Artinya, murid mengalami pembelajaran di mana pun dan dengan siapa pun; dan yang mereka alami di sekolah (bersama guru) itulah yang dapat disebut pembelajaran utama.
Maka bergeserlah proses pengajaran ke pembelajaran tanpa harus terjadi pergeseran peran guru. Bahkan, upaya terencana untuk peningkatan kualitas pembelajaran justru menempatkan guru sebagai pihak yang pertama-tama perlu mengalami pencerahan lewat berbagai pelatihan dan upaya lain. Jadi, peningkatan kualitas pembelajaran di tingkat SD menuntut terjadi paling awal. Alasan lain mengapa guru-guru SD perlu didahulukan, karena jumlah mereka pasti terbanyak, selain karena ketersebaran mereka yang “paling merata”.
Pengalaman kecil dalam rangka implementasi MBS (manajemen berbasis sekolah) di sejumlah SD menunjukkan, guru-guru SD amat membutuhkan peningkatan kualitas pembelajaran sesegera mungkin karena “sepanjang hari” seorang guru ada bersama murid-murid; sementara guru sekolah lanjutan dan menengah, apalagi dosen amat “terbatas” kebersamaannya dengan murid/mahasiswa. Bayangkan Anda bersama murid sepanjang hari dengan “kemiskinan” metode pembelajaran.
* JC Tukiman Taruna, Pengembangan Masyarakat dan Kependidikan, tinggal di Ungaran, Jawa Tengah.
Filed under: Mimpi Indonesia , APEC, HAR Tilaar, Komite Reformasi Pendidikan, MBS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan pesan.....

  © Blogger templates The Professional Template and Copyright 2009 Http://duniaartikelpendidikan.blogsot.com 2009 ---------By suhartono (Email : suhartono_unm20@yahoo.com and FB : thono_jhoe_unm) --------

Back to TOP