Rabu, 17 Maret 2010

PARADIGMA 4 PILAR PENDIDIKAN

PARADIGMA 4 PILAR PENDIDIKAN
A.Latar Belakang Masalah
Membicarakan sistem pendidikan di Indonesia ibarat orang berjalan tanpa ujung tidak ada titik temu. Pejabat lebih senang membuat dan memilih kebijakan baru yang lebih spektakuler agar orang menjadi lupa dan terkonsentrasi terhadap kebijakan barunya. Lupa akan harapan dan tujuan sebuah program yang dirumuskan tentang sistem pendidikan di Indonesia.


Hal tersebut merupakan sebuah realita dunia pendidikan. Masih segar dalam ingatan kita tentang pola pengajaran di Indonesia, dari CBSA, PAKEM, Portofolio, MBS, Broad Based Education dan yang terbaru adalah KBK. Penerapan tersebut tentunya menimbulkan permasalahan baru dalam proses belajar-mengajar.
Proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:4). Sedangkan menurut Suryosubroto, proses belajar-mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran (Suryosubroto 1997:19).
Mengacu dari kedua pendapat tersebut, maka proses belajar-mengajar yang aktif ditandai adanya serangkaian kegiatan terencana yang melibatkan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental, intelektual dan emosionalnya.
Dalam konteks pemahaman tentang proses belajar-mengajar, guru dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang “memenangkan” guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar bagi siswa (teacher centered).
Pembelajaran didasarkan target kurikulum, juga merupakan refleksi dari saratnya beban dan materi pelajaran sehingga guru cenderung mengejar penyelesaian materi daripada mengoptimalkan substansi dari kristalisasi nilai-nilai yang seyogyanya diaktualisasikan. Artinya, guru kurang peduli dengan pentingnya kecakapan hidup (life skill) yang harus dikuasai siswa, dan lebih mementingkan pencapaian hasil belajarnya.
Kondisi tersebut sudah barang tentu rentan akan berbagai dampak negatif yang muaranya pada kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas “kekawatiran”. Problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan merupakan tantangan guru, yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini lantaranstakeholder dalam dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung “memaksa” siswa menerima. Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu menguasai serta mengerti dengan apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat dari berbagai aktivitas guru, di antaranya: (1) guru memberi les/pelajaran tambahan secara berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2) guru hanya menjadi “tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4) guru memberikan PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan (5) pengajaran tanpa media.
Ada beragam teknik yang dapat digunakan guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, kreatif, konstruktif, ceria, dan menyenangkan serta memberi ruang gerak anak untukberkreasi, sesuai daya imajinasi masing-masing. Apabila kondisi tersebut dapat didesain guru sudah barang tentu akan bersampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran.
Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan istilah PAKEM dan mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran efektif, dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka persoalan mendasar yang hendak dibahas adalah: “Bagaimana internalisasi paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam internalisasi paradigma empat pilar pendidikan dalam proses belajar-mengajar sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan
Penyusunan makalah ini memiliki manfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis makalah ini bermanfaat untuk menelaah teori-teori pembelajaran efektif yang direfleksikan dalam paradigma empat pilar pendidikan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
Secara praktis, makalah ini bermanfaat untuk:
1.Guru, sebagai penggerakan motivasi dalam mendesain pembelajaran bermakna.
2.Kepala sekolah, sebagai sarana memberkikan pembinaan bagi guru-guru dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran, dan
3.Pengawas sekolah, sebagai masukan dalam meningkatkan profesionalisme guru.

BAB II
PEMBAHASAN

A.Interaksi Belajar-Mengajar
Lingrend (dalam Usman, 2000:25), mengatakan bahwa ada empat pola komunikasi dalam proses interaksi guru dengan siswa seperti digambarkan dalam diagram berikut ini:
Jenis-Jenis Interaksi Dalam belajar-Mengajar :
1.Komunikasi satu arah Komunikasi dua arah, ada balikan guru, tidak ada interaksi di antara siswa.
2.Komunikasi dua arah, Komunikasi banyak arah, Ada balikan bagi guru interaksi optimal antara guru Siswa berinteraksi dengan siswa, dan antara siswa dengan siswa lainnya
Mengacu pada keterangan di atas, sudah barang tentu proses belajar-mengajar merupakan kegiatan yang integral dengan menggunakan interaksi resipokral dan memanfaatkan konsep komunikasi multi arah. Namun demikian realitas di lapangan, guru masih cenderung mengadakan interaksi searah, yang berdampak pada proses pembelajaran teacher centered.
Mengoptimalkan interaksi multi arah bukanlah hal yang mudah. Namun ada beberapa kiat yang dapat digunakan guru, yakni dengan sistem TANDUR (De Porter, 2002:89), yang meliputi:
a. TUMBUHKAN
Tumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaatnya BagiKu” (AMBAK) dan manfaatkan kehidupan pelajar.

b.ALAMI
Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar.
c.NAMAI
Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebagai sebuah masukan
d.DEMONSTRASIKAN
Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk menunjukkan bahwa mereka tahu.
e.ULANGI
Tunjukkan pelajar cara-cara mengulangmateri dan menegaskan, “Aku tahu bahwa aku memang tahu.”
f.RAYAKAN
Pengakuan untuk menyelesaikan, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan

B.Pembelajaran Kreatif
Jika ditelaah lebih mendalam, gambaran pengoptimalan interaksi dengan sistem TANDUR yang diadopsi dari Buku Quantum Teaching, agaknya identik dengan potret pembelajaran dengan karakteristik PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, dan menyenangkan). Secara kontekstual, pembelajaran ala PAKEM berisi serangkaian kegiatan, yang meliputi:
a.Berorientasi pada keaktifan, kreativitas, dan kemandirian siswa.
b.Siswa perlu melakukan pengamatan dan merumuskan dugaan awal.
c.Siswa perlu melakukan percobaan pengujian dan menarik kesimpulan dari percobaannya.
d.Melaporkan hasil temuannya secara langsung (otentik) dengan bimbingan guru yang aktif bertindak sebagai fasilitator dan motivator (Depdiknas, 2001:10).
Realitas di lapangan, agaknya guru kurang tertarik untuk menerapkan pembelajaran ala PAKEM lantaran memilih pembelajaran yang hanya menghafal semata. Potret pembelajaran yang selama ini diterapkan guru cenderung berkutat pada proses pembelajaran yang hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri siswa saja. Sebaliknya, kemampuan otak kanan kurang ditumbuhkembangkan dan bahkan dapat juga dikatakan tidak pernah dikembangkan secara sistematis.
Kondisi itu menyebabkan pendidikan nasional tidak mampu menghasilkan orang-orang yang mandiri, kreatif, memiliki self awareness, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi secara baik dengan lingkungan fisik, sosial dalam komunitas kehidupannya. Akibatnya, dilihat dari tingkat pendidikan tinggi, pengangguran sarjana yang secara formal termasuk kelompok “terdidik” semakin meluas (Suyanto, 2000:7).
Sebagai gambaran, berikut ini dibandingkan kemampuan otak kanan dengan kemampuan otak kiri.
Proses di belahan otak kiri Proses di belahan otak kanan
1. Terjadi pada proses penemuan yang bersifat bagian-bagian dari suatu komponen
2. Proses berpikir analitis
3. Proses berpikir yang mementingkan tata urutan sekuensial dan serial
4. Proses berpikir temporal, terikat pada waktu kini
5. Proses berpikir verbal, matematis, notasi musikal 1. Tertarik pada proses penginte-grasian dari bagian-bagian suatu komponen menjadi satu kesatuan yang bersifat utuh dan menyeluruh
2. Proses berpikir yang bersifat relasional, konstruksinal, dan membangun suatu pola
3. Proses berpikir simultan, dan parallel
4. Proses berpikir lintas ruang, tidak terikat pada waktu kini
5. Proses berpikir yang bersifat visual, lintas ruang, musikal

C. Empat Pilar Pendidikan
Dalam buku Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (2001:13) paradigma pembelajaran tersebut akan menciptakan proses belajar-mengajar yang efektif, yakni: belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
a.Konsep learning to know menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, diretor, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, danevaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya. Yusak (2003) mengatakan bahwa secara kreatif menguasai instrumen ilmu dan pemahaman yang terus berkembang, umum atau spesifik, sebagai sarana dan tujuan , dan memungkinkan terjadinya belajar sepanjang hayat.
b.Konsep learning to do menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Terkait dengan hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
c.Konsep learning to live together merupakan tanggapan nyata terhadap arus individualisme serta sektarianisme yang semakin menggejala dewasa ini. Fenomena ini bertalian erat dengan sikap egoisme yang mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa kebersamaan dan harga-menghargai. Memahami, menghormati dan bekerja dengan orang lain, mengakui ketergantungan, hak dan tanggungjawab timbal balik yang melibatkan partisipasi aktif warga, tujuan bersama menuju kerekatan sosial, perdamaian dan semangat kerjasama demi kebaikan bersama.
d.Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Pengembangan dan pemenuhan manusia seutuhnya yang terus “berevolusi”, mulai dengan pemahaman diri sendiri, kemudian memahami dan berhubungan dengan orang lain. Menguak kekayaan tak ternilai dalam diri.
Untuk itu semua, pendidikan di Indonesia harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.


BAB III
PENUTUP
A.Simpulan
Berdasar uraian di atas dapat ditarik suatu pemahaman bahwa implementasi paradigma empat pilar pendidikan sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan merupakanconditio sine qua non dalam pendidikan. Dalam pengertian paradigma tersebut mutlak diterapkan dalam proses belajar-mengajar.
Penerapan paradigma tersebut sudah barang tentu akan berdampak pada pembelajaran efektif yang direkomendasikan UNESCO yakni pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Konsep pembelajaran efektif tersebut bermuara pada empat pilar pendidikan, yakni (learning to know), (learning to do), (learning to live together), dan (learning to be).
Penerapan empat pilar pendidikan menuntut kemampuan profesional guru sejalan diberlakukannya otonomi daerah, khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
B.Saran
Mewujudkan kondisi ideal potret pembelajaran yang kreatif, bukanlah hal yang mudah lantaran munculnya beragam fenomena aktual dalam dunia pendidikan sangat dibutuhkan guru yang bersungguh-sungguh mengembangkan kompetensinya, baik kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, guru diharapkan lebih kreatif di dalam mendesain proses pembelajaran, sehingga ada perpaduan yang sinergis antara hasil pembelajaran dengan kecakapan hidup (life skill).
Kerjasama dan koordinasi antara seluruh komponen sekolah dipandang perlu agar masing-masing komponen sekolah dapat memberikan kontribusi secara maksimal, dalam menumbuhkan tunas-tunas muda harapan bangsa.
C.Daftar Pustaka
1.Depdiknas. 2001a. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdikbud.
2.Suryosubroto. 1997. Proses Belajar-Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
3.Usman, Moh Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
4.Yusak, Muchlas. 2003. Wawasan Kependidikan, Empat Pilar Pendidikan. Semarang: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.
5.http://akhmadsudrajat.wordpress.com
PERKEMBANGAN ANAK MASA PERTENGAHAN DAN AKHIR SERTA IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Masa Pertengahan dan Akhir Anak-anak ialah periode perkembangan yang merentang dari usia kira-kira 7 hingga 12 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar; periode ini kadang-kadang disebut "tahun-tahun sekolah dasar". Ketrampilan-ketrampilan fundamental seperti membaca, menulis dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaannya. Prestasi menjadi tema yang lebih sentral dari dunia anak dan pengendalian diri mulai meningkat.

Pada usia ini, secara biologis pertumbuhan otot-otot besar anak terjadi secara lamban, tidak terdapat hal-hal yang menggoncangkannya. Sebaliknya pertumbuhan otot-otot halus sudah terjadi sehigga si anak sudah mampu melakukan gerak rukuk dan sujud secara mantap. Anak sudah dapat dilatih untuk berwudhu dan shalat, karena kemampuan anggota wudhunya dan gerakan shalat sudah dapat dilakukan menurut petunjuk yang diberikan kepadanya. Tepat sekali hadis nabi yang memerintahkan agar orang tua menyuruh anaknya salat apabila anaknya berumur 7 tahun dan memukulinya pada umur 10 tahun jika anak tidak melaksanakannya.
Seperti halnya perubahan fisik, perubahan psikis juga berkembang dalam diri anak, yaitu :
1.Perkembangan kecerdasan.
Pada periode ditandai oleh adanya tambahan kemampuan yang disebut system of operation (satuan langkah berfikir) yang bermanfaat untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam pemikirannya sendiri. Pada dasarnya perkembangan kognitif anak ditinjau dari karakteristiknya sudah sama dengan kemampuan kognitif orang dewasa. Namun masih ada keterbatasan kapasitas dalam mengkoordinasikan pemikirannya. Pada periode ini anak baru mampu berfikir sistematis mengenai benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang konkret.

Perkembangan yang sangat menonjol adalah perkembangan pikiran, khusunya kecerdasan. Perkembangan kecerdasan terjadi cepat sekali. Anak sudah mulai dapat memahami hal yang abstrak. Kecerdasannya untuk berfantasi/berkhayal sangat besar. Anak sangat suka mendengar cerita, kisah atau dongeng yang diceritakan oleh orang tua dan guru.
Pada umr 8-9 tahun, kemampuan membaca pada anak sudah mulai muncul. Apabila orangtua dan guru dapat menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan perkembangan jiwa anak dan mendukung keimanan maka tentu sangat bermanfaat. Kisah cerita yang disukai anak pada usia ini adalah cerita yang sesuai dengan keadaan mereka, misalnya tokoh cerita anak yang sebaya dengannya. Mereka suka mendengar atau membaca cerita tentang hewan yang pernah dilihatnya, pemandangan alam yang indah memesona.
Pada usia 10-12 tahun perkembangan kecerdasan anak berjalan cepat, sehingga kemampuan memahami hal-hal yang abstrak semakin meningkat ; dan pada usia 12 tahun anak barulah mampu memahami hal-hal yang abstrak. Penjelasan keimanan secara sederhana sudah dapat diberikan kepada anak usia ini sesuai dengan perkembangan kecerdasannya.

2.Perkembangan Bahasa
Penelitian yang dilakukan oleh Buhler dan lain-lain yang berwujud observasi mengenai bahasa anak, sekarang terdapat alat-alat baru untuk menyelidiki kecakapan bahasa pada anak. Misalnya sekarang ada kemungkinan untuk menyelidiki seberapa jauh anak mampu untuk menirukan bahasa orang dewasa. Disini akan dibedakan adanya 2 macam peniruan :
1.Peniruan spontan bahasa orang lain, biasanya bahasa orang tua.
2.Peniruan yg dilakukan anak sesudah anak menerima tugas untuk melakukan itu
Hasil umum mengenai tes semacam itu adalah bahwa anak lebih pandai untuk mengadakan imitasi daripada mengerti kalimat dan bahwa kecakapan untuk mengerti tadi lebih tinggi daripada kecakapan untuk memproduksi kalimat-kalimat sendiri.
Penelitian bahasa pada umumnya dibedakan antara :
1.Perkembangan fonologis – atau penguasaan sistem suara atau bunyi
2.Perkembangan morfologis – atau penguasaan pembentukan kata-kata
3.Perkembangan sintaksis – atau pernapasan tata bahasa
4.Perkembangan leksikal – penguasaan dan perluasan kekayaan kata-kata serta pengetahun mengenai arti kata-kata.
5.Perkembangan semantis – atau penguasaan arti bahasa
Potensi Anak Berbicara Didukung oleh Beberapa Hal:
a.Kematangan alat berbicara
Kemampuan berbicara juga tergantung pada kematangan alat-alat berbicara. Misalnya tenggorokan, langit-langit, lebar rongga mulut dan Iain-lain dapat mempengaruhi kematangan berbicara. Alat-alat tersebut baru dapat berfungsi dengan baik setelah sempi’rpa dan dapat membentuk atau memproduksi suatu kata dengan baik scbagai permulaan berbicara.
b.Kesiapan berbicara
Kesiapan mental anak sangat berganrung pada pertumbuhan dan kematangan otak. Kesiapan dimaksud biasanya dimnlai sejak anak berusia antara 12-18 bulan, yang discbut teachable moment dari perkembangan bicara. Pada saat inilah anak betul-betul sudah siap untuk belajar. bicara yang sesungguhriya. Apabila tidak ada gangguan anak akan segera dapat berbicara sekalipun belum jelas maksudnya.
c.Adanya model yang baik untuk dicontoh oleh anak
Anak dapat membutuhkan suatu model tertentu -agar dapat
melafalkan kata dengan tepat untuk dapat dikombinasikan dengan
kata lain sehingga menjadi suatu kalimat yang berarti. Model
tersebut dapat diperoleh dari orang lain, misalnya orang tua atau
saudara, dari radio yang sering didengarkan atau dari TV, atau aktor
film yang bicaranya jelas dan berarti. ^Anak akan mengalami
kesulitan apabila tidak pernah memperoleh model scbagaimana
disebutkan diatas. Dengan scndirinya potcnsi anak tidak dapat
berkcmbang scbagaimana mcstinya.
d.Kesempatan berlatih
Apabila anak kurang mendapatkan latihan keterampilan berbicara akan timbul frustasi dan bahkan sering kali marah yang tidak dimengerti penyebabnya oleh orang tua atau lingkungannya: Pada gilirannya anak kurang memperoleh moUvasi untuk belajar berbicara yang pada umumnya disebut “anak ini lamban” bicaranya.


e.Motivasi untuk belajar dan berlalih
Memberikan motivasi dan melatih anak untuk berbicara sangat penting bagi annk karena untuk memenuhi kebutuhannya untuk memanfaatkan potensi anak. O’-ang tua hendaknya selalu berusaha agar motivasi anak untuk berbicara jangan terganggu atau tidak mendapatkan pengarahan.
f.Bimbingan
Bimbingan bagi anak sangat. penting untuk mengembangkan potensinya. Oleh karena itu hendaknya orang tua suka memberikan contoh atau model bagi anak, berbicara dengan pelan yang mudah diikuti oleh anak dan orang tua siap memberikan kritik atau mcmbetulkan apabila dalam berbicara anak berbuat suatu kesalahan. Bimbingan tersebut sebaiknya selalu dilakukan secara terus menerus dan konsisten sehingga anak tidak mengalami kesulitan apabila berbicara dengan orang lain.

3.Perkembangan Sosial
Kecenderungan anak usia 7-9 tahun untuk bergaul dengan teman sebaya, membentuk kelompok, dan membuat kesepakatan diantara mereka. Teman-temannya itu kadang lebih mendapat perhatian dan prioritas daripada orang tuanya. Mereka mulai menjauh dari orang dewasa, karena mereka ingin berbincang dan bercerita sesama mereka tanpa diganggu oleh orang dewasa. Mereka tidak ingin terkucil dari teman-temannya. Apa yang dilakukan temannya, ia pun melakukannya. Misalnya mode pakaian , cara berbicara, gaya berjalan dan sebagainya ingin ia tiru seperti teman-teman dalam kelompoknya. Jika temantemannya pergi mengaji, ia pun pergi mengaji. Apabila anak pada usia ini tidak mempunyai teman atau terkucil dari teman sepergaulan maka mereka akan merasa menderita, akibatnya perkembangan jiwa sosialnya akan tidak sehat.
Anak pada usia 10-12 tahun, telah mampu menghubungkan agama dan masyarakat. Mereka sudah tahu bahwa mencela atau melecehkan agama, menyakiti pemeluknya, adalah tidak baik. Oleh karena itu kefanatikan dan kecintaan kepada agamanya semakin nyata bahkan terkadang sikap sebaliknya terhadap agama lain mulai muncul. Disinilah peran orang tua dan guru untuk mengarahkan sikap cinta agama dan kefanatikan, agar mereka tidak menjurus kepada mencela atau memusuhi orang yang tidak seagama dengan dirinya. Harus pula dijaga jangan sampai terpahami oleh anak bahwa agama itu sama. Jika hal ini terjadi, kebanggaan dan kecintaan kepada agamanya (Islam) menjadi berkurang.

4.Perkembangan Kepribadian
Anak yang berkembang kepribadiannya pada umur balita baik, akan dapat meneruskan perkembangan kepribadian yang baik pada masa selanjutnya. Suasana keluarga yang nyaman,tenang,dan penuh perhatian antara satu sama lainnya akan menjadikan si anak berkembang dengan ceruia,lincah dan bersemangat. Masalah yang berat bagi anak pada usia ini adalah apabila sikap negatif dan perlakuan kasar dari orang tuanya terlalu keras,bersikap otoriter, selalu memerintah,melarang dan memaksakan disiplin yang kaku kepada anakanaknya, anak akan merasa tertekan, sehingga hatinya akan berontak kepribadiannya menjadi kaku. Ia akan merasa dirinya tidak berharga dan takut bergaul dengan orang lain. Bahkan sikap benci dan perasaan negatif yang dialaminya dapat berkembang kepada semua orang. Hal ini dapat berakibat orang lain sulit untuk menerimanya dan mugkin membencinya karena sikap dan perilakunya negatif. Oleh karenanya riwayat hidup anak sangat penting diketahui oleh para pendidik, untuk memudahkan dalam pembinaan kearah yang lebih baik.

5.Perkembangan Keagamaan.
Keberagamaan anak adalah sungguh-sungguh, namun belum dengan pikirannya. Mereka menangkap dengan emosi karena ia belum mampu berpikir logis. Mereka ingin melaksanakan apa yang didengarnya. Bahkan tidak jarang mereka berusaha meniru apa yang dapat ditirunya dari orang tuanya dan dari gurunya.
Anak juga akan merasa bangga apabila diikut sertakan dalam kegiatan keagamaan,misalnya ikut shalat berjamaah,berdiri bershaf-shaf dengan jamaah. Komentar akan tingkah mereka juga akan membuat ia bangga, misalnya ia berperilaku baik, rajin shalat, rajin mengaji,baik dengan teman dan lain-lain.

6.Referensi
1.http://badkokraton.blogspot.com/2009/12/perkembangan-anak-usia-tpa-7-12-tahun.html
2.http://wangmuba.com




PARADIGMA DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Minggu, 14 Juni 2009 00:42:07 - oleh : Khairul Hafid - dilihat 300
Perkembangan masyarakat sering menimbulkan perubahan pola hubungan ekonomi, sosial dan budaya dari umat manusia itu sendiri. Tak jarang, perubahan itu menimbulkan keguncangan sosial jika tidak disiapkan dengan sebaik-baiknya. Salah satu persiapan yang bisa dilakukan dengan membenahi jalur pendidikan dan membuatnya relevan, sehingga mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan sanggup membaca tanda-tanda zaman. Pendidikan di negeri ini pun diharapkan sanggup menjawab kebutuhan masyarakat, namun masalah yang dihadapi lembaga pendidikan tidak semudah membalik telapak tangan. Dalam kaitan itu berbagai masalah yang berkaitan dengan dunia pendidikan, diantaranya: tujuan pendidikan, kurikulum, guru, metode, pendekatan, serta sarana dan prasarana pendidikan perlu dibenahi. Paradigma pendidikan dapat menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah yang dapat mengurai lingkaran syetan problematika dunia pendidikan di Indonesia. Paradigma dunia pendidikan di Indonesia menuntut pendidikan yang bersifat double-tracks, yaitu pendidikan sebagai proses yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan masyarakat pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Dengan sistem semacam ini dunia pendidikan kita diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah dengan sangat cepat.Untuk memperbaiki kualitas pendidikan, di negeri kita telah dirumuskan UU SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) diantaranya mengharuskan negara menganggarkan 20% dana APBN untuk pendidikan. Begitu pula dengan APBD di seluruh Indonesia harus pula melakukan hal yang sama, serta dilakukan pembenahan kurikulum. Undang-Undang dibutuhkan agar ada dasar untuk berpijak, dengan itu pula evaluasi dapat dilaksanakan. Namun adanya perangkat peraturan saja belumlah cukup, diperlukan kerja keras dari semua pihak agar tujuan pendidikan dapat dicapai. Sehingga apa yang menjadi cita-cita pendidikan benar-benar bisa diwujudkan.Dalam upaya mengimplementasikan paradigma pendidikan masa depan, peran guru sebagai pilar utama peningkatan mutu pendidikan jelas tidak boleh dipandang sebelah mata. Sudah saatnya guru diberi kebebasan dan keleluasaan untuk mengelola proses pembelajaran secara kreatif dan mencerdaskan, sehingga pembelajaran berlangsung efektif, menarik, dan menyenangkan. Bukan saatnya lagi guru dipajang dalam ‘rumah kaca’ yang selalu diawasi gerak-geriknya, sehingga guru yang dianggap tampil beda dalam mengelola proses pembelajaran dan dihambat kariernya. Agar pendidikan dapat menjalankan fungsinya dengan baik harus ada perubahan dan pembaruan paradigma. Hanya dengan paradigma pendidikan baru ini bangsa Indonesia dapat mengharapkan masa depan yang maju, sejahtera, berkeadilan dan bermoral.Dalam konteks demikian, guru harus benar-benar menjadi ’agen perubahan’ dan menjadi sosok profesional yang senantiasa bersikap kritis terhadap berbagai perkembangan dan dinamika peradaban yang terus berlansung disekitarnya. Guru bersama stakeholder pendidikan harus selalu menjadikan sekolah sebagai ’magnet’ yang mampu mengundang daya pikat anak-anak bangsa untuk berinteraksi, berdialog, dan bercurah pikir dalam suasana lingkungan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi proses deschooling society di mana sekolah mulai dijauhi oleh masyarakat akibat ketidakberdayaan pengelola sekolah dalam menciptakan institusi pembelajaran yang ’murah-meriah' di tengah merebaknya gaya hidup hedonistik, konsumtif, materialistik, dan kapitalistik.
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN
DAN
DASAR-DASAR PEDAGOGI
Unifah Rasyidi
Sudarwan Danim

Direktorat Tenaga Kependidikan
Tahun 2004

KOMPARASI PARADIGMA MANAJEMEN PENDIDIKAN
KOMPARASI PARADIGMA MANAJEMEN PENDIDIKAN
PARADIGMA BARU
MANAJEMEN PENDIDIKAN
TANTANGAN PENDIDIKAN KITA
Kemajuan IPTEK yang sangat cepat dan massif menuntut kemampuan sumberdaya pendidikan melakukan penyesuaian yang signifikan.
Mobilitas pekerja pada tataran internasional yang gerakannya melintasi batas-batas negara (borderless movement) menuntut pendidikan makin harus dikelola secara bermutu
Kisis ekonomi dan multikrisis lain yang menyertainya mendorong dunia pendidikan untuk dapat makin memperkuat diri atau setidaknya dapat mempertahankan capaian pembangunan pendidikan yang telah ada sekarang.
TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL SEKOLAH KITA
Pelaksanaan otonomi daerah yang berpengaruh pada perubahan sistem Pengelolaan Pendidikan.
Komitmen penganggaran dari pemerintah dan masyarakat masih rendah
Etos kerja tenaga kependidikan masih rendah
Prestasi belajar siswa rendah
Indeks SDM rendah, No. 112 dari 175 negara
Daya saing ekonomi dan daya kekompetitifan investasi rendah
Praktik-praktik KKN dan Percaloan
TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL SEKOLAH KITA
Masih rendahnya pemerataan akses untuk memperoleh pendidikan, baik karena faktor ekonomi, kultural, jender, maupun geografis.
Mutu proses dan luaran sekolah kita untuk sebagian besar belum terandalkan dilihat dari capaian prestasi belajar peserta didik dan keterampilan yang diperoleh.
Luaran sekolah untuk sebagian besar belum relevan dengan kebutuhan pembangunan dan dunia kerja.
TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL SEKOLAH KITA
Kemampuan manajemen sekolah (school management capability) yang masih lemah, sehingga muncul aneka distorsi dan sulitnya mendongkrak partisipasi masyarakat terhadap sekolah.
Usaha-usaha inovasi atau pembaruan pendidikan persekolahan yang dilakukan belum dapat diimplementasikan secara optimum akibat masih relatif lemahnya komitmen guru dan tenaga kependidikan serta dukungan masyarakat untuk menjaga sustainabilitasnya.

TANTANGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL SEKOLAH KITA
Prestasi siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang disurvai.
Kemampuan matematika siswa SMP di Indonesia berada pada urutan ke-39 dari 42 negara
Kemampuan IPA berada pada urutan ke-10 dari 42 negara peserta.
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Educational Decentralization
Community-based Education (PBM)
School-based Management (MBS)
School-based Quality Improvement (MPMBS)
Competency-based Curriculum
Contextual Teaching and Learning
Life-skill Education
Authentic-based Assessment
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Educational Decentralization
Pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber daya (dana, manusia, peralatan, dan lain-lain) untuk kepentingan pendidikan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun pada tingkat di bawahnya.

Dengan adanya desentralisasi ini diharapkan akan terjadi peningkatan pemerataan, efektifitas, efisiensi, dan relevansi pelayanan di bidang ini dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal.
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Community-based Education (CBE):
Masyarakat sebagai pilar utama pembangunan pendidikan.
Pendidikan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
WAHANA COMMUNITY-BASED EDUCATION
Dewan Pendidikan merupakan badan yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di kabupaten/kota.
Komite Sekolah merupakan badan mandiri yang mewadahi peranserta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah, maupun jalur pendidikan luar sekolah.

Peran Dewan Pendidikan
Pemberi pertimbangan (advisory) agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan.
Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pengontrol (controlling agency), dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan.
Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (Legislatif) dengan masyarakat.
Peran Komite Sekolah
Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
Pendukung (supporting) agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarkat di satuan pendidikan.
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
School-based Management (MBS)
Komunitas sekolah berkewenangan besar dalam meren-canakan program, mengimplementasikan kurikulum, menata sumber daya insani dan anggaran sekolah
Sekolah memerlukan dukungan dari berbagai pihak, seperti orang tua siswa dan masyarakat
Manajemen sekolah perlu dilakaukan secara demokratis, tranparant, komunikatif dan partisipatif
Kepala sekolah membagi wewenang dan tanggung jawab kepada para pelaksana tugas
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
School-based Quality Improvement (MPMBS)

Sekolah merupakan unit utama dan fungsional dalam meningkatkan mutu pendidikan
Sekolah berwenang dalam menentukan unggulan utamanya
Sekolah memiliki peluang untuk bersaing sehat dengan sekolah-sekolah lainnya
Sekolah berpeluang untuk menyusun program alternatif sesuai dengan potensi, konteks, dan kebutuhannya.
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Competency-based Curriculum
Seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak
Tindakan cerdas untuk mengerjakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu
Penuh tanggung jawab untuk mengerjakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertent
Pengembangan landasan kemampuan kepribadian
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Competency-based Curriculum
Kemampuan penguasaan ilmu dan keterampilan (know how and how why)
Kemampuan berkarya (know to do)
Kemampuan menyikapi dan berperilaku dalam berkarya sehingga dapat mandiri, menilai, dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab (to be)
Dapat hidup bermasyarakat dengan kerja sama, saling menghormati, dan menghargai nilai-nilai pluralisme dan kedamaian (live together).
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Life-skill Education
Sekolah harus mampu mempersiapkan siswa untuk untuk tidak hanya tahu, melainkan terampil dalam menghadapi tantangan hidup di masyarakat.
Sekolah mempersiapkan siswa dengan pelbagai ketrampilan, seperti penguasaan bidang studi, menganalisis dan menghambil keputusan secara rasional, berkomunikasi baik tulis maupun lisan dalam bahasa asing, bekerjasama, berempati, dan keterampilan vokasional tertentu.
BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Contextual Teaching and Learning (CTL)
Perencanaan pembelajaran sesuai dengan perkem-bangan mental (developmentally appropriate) siswa.
Membentuk group belajar yang saling tergantung (interdependent learning groups).
Mempertimbangan keragaman siswa (disversity of students).
Mengorganisasikan lingkungan pembelajaran mandiri (self-regulated learning) denmgan titik tekan kesadaran berpikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan.
Memperhatikan multi-intelegensi siswa.
Menggunakan teknik bertanya (quesioning) yang meningkatkan pembelajaran, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berpikir tingkat tinggi dari siswa.

BENTUK-BENTUK
PEMBARUAN PENDIDIKAN
Authentic-based Assessment
Evaluasi tidak sebatas untuk mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, melainkan apakah dia bisa menampilkan diri atau berbuat atas dasar pengetahuannya itu.
Evaluasi berfokus pada kinerja riel yang dapat ditampilkan oleh anak didik
Kegiatan evaluasi dilakukan dengan mengobservasi perilaku
Evaluasi didasari atas konteks dan kondisi riel anak didik
Pendekatan Peningkatan Mutu Pendidikan: Simultan
Pendekatan Manajemen Sekolah = Manajamen Berbasis Sekolah/MBS atau Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/MPMBS
Pendekatan Kurikulum = Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK
Pendekatan Pembelajaran = Pembelajaran Kontekstual/CTL
Pendekatan dalam evaluasi = Evaluasi berbasis kinerja/Penilaian otentik/OBA
Pendekatan Produk = Pembelajaran berbasis luaran/PBL dan dampak/PBD
5 PILAR MBS/MPMBS
Otonomi, manajemen sekolah atas dasar potensi, kekhasan, kemampuan, kebutuhan, dan tuntutan masyarakat.
Partisipasi, manajemen sekolah secara transparan dengan melibatkan seluruh komunitas sekolah menurut tupoksinya
Fleksibilitas, manajemen sekolah atas kondisionalitas sekolah dan lingkungannya
Akuntabilitas, kebertanggungjawaban dan pertanggungjawaban komunitas sekolah dalam mengelola program-programnya.
Sustainabilitas, keberlanjutan dan pemberlanjutan aneka program yang telah dibuat.

Arah Pendidikan Versi Unesco
Learning to know (landasan ilmu pengetahuan),
Learning to do (aplikasi),
Learning to be (penggalian potensi diri)
Learning to life together (hidup bermitra dan sekaligus berkompetisi, hidup berdampingan dan bersahabat antarbangsa).
Paradigma Manajemen Masa Depan
BAGIAN II



DASAR-DASAR PEDAGOGI
DASAR-DASAR PEDAGOGI
Carter V. Good dalam Dictionary of Education
mendefinisikan kata pendidikan (education) dari
dua sisi pandang.

Pendidikan dalam makna sempit sebagai padanan kata pedagogy.
Pendidikan dalam makna luas sebagai padanan kata education.
Apakah Pedagogi itu?
Ilmu mendidik
Seni, praktik, atau profesi pengajaran
Ilmu yang sistematis atau pengajaran yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dan metode-metode mengajar, pengawasan, dan bimbingan murid, yang dalam arti luas digantikan dengan istilah pendidikan.
Apakah pendidikan itu?
Proses perkembangan pribadi
Proses sosial pada masyatakat beradab
Kursus-kursus profesional
Seni untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun yang diwarisi/dikembangkan masa lampau oleh tiap generasi bangsa.
Apakah pendidikan itu?
Pendidikan adalah suatu lembaga pada masyarakat beradab, meski tujuan pendidikan tidak selalu sama untuk setiap masyarakat. Tujuan pendidikan suatu masyarakat/bangsa didasari atas nilai-nilai, cita-cita, dan filsafat yang dianut oleh masyarakat/bangsa itu.
Istilah pendidikan merujuk pada fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama untuk membawa generasi muda untuk dapat menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya di dalam masyarakat.
Pendidikan adalah proses timbal-balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam sekitar, teman, atau alam semesta.
Pedagogi/Ilmu Mendidik
Ilmu Pendidikan Teoritis
Memahami, mengekplorasi, dan mengembangkan secara deskriptif dan analitik tentang objek pendidikan atau perilaku manusia pada umumnya.
Memahami, mengekplorasi, dan mengembangkan secara deskriptif tentang ilmu yang memberi sumbangsih bagi kemajuan ilmu dan praktik pendidikan, seperti psikologi, filsafat, informatika, kebudayaan, komunikasi, biologi, kesehatan, dan sebagainya.
Sebagai bahan perumusan praktik pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
Melakukan eksperimentasi secara ilmiah untuk melahirkan teori-teori atau temuan baru di bidang ilmu pendidikan.
Pendidik Memerlukan Pengetahuan
Pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pendidik
Pengetahuan tentang tujuan, isi, proses, metodologi, dan nilai-nilai pendidikan
Pengetahuan tentang anak didik dan martabatnya sebagai manusia
Pengetahuan pengembangan ilmu
Pengetahuan Tentang Diri-sendiri
Pengetahuan-diri tentang kemampuan memahami sesuatu.
Pengetahuan-diri untuk melakukan strategi modifikasi perilaku secara kontekstual.
Pengetahuan-diri mengenai kemampuan menampilkan tugas-tugas khusus.
Pengetahuan-diri tentang tujuan-tujuan menampilkan suatu tugas.
Pengetahuan-diri tentang minat khusus pribadi.
Pengetahuan-diri dalam menimbang nilai guna relatif dari suatu rugas.
Pengetahuan tentang Anak Didik
Kemampuan kognitif anak
Minat dan bakat anak
Kebiasaan-kebiasaan khusus anak
Cita-cita anak
Latar belakang keluarga anak
Latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya anak
Keunikan-keunikan khusus anak
Pengetahuan Tentang Tujuan Pendidikan/Pembelajaran
Tujuan negara
Tujuan pembangunan nasional
Tujuan pendidikan nasional
Tujuan institusional
Tujuan kurikuler
Tujuan umum pembelajaran
Tujuan khusus pembelajaran
Pengetahuan tentang Sistem Pembelajaran
Tujuan pemebelajaran
Bahan/isi pembelajaran
Proses/strategi pembelajaran
Evaluasi pembelajaran
Lingkungan pembelajaran
Nilai-nilai pembelajaran
Pengetahuan tentang Pengembangan Ilmu
Kemampuan membaca hasil penelitian
Kemampuan penelusuran pustaka
Kemampuan transfer pengalaman dan mengaplikasikan hasil penelitian para ahli
Kemampuan melakukan penelitian, mulai dari penelitian sederhana sampai yang kompleks.
Kemampuan mentransmisikan pengetahuan dan hasil penelitian.
Ilmu Pendidikan Praktis dan Praksis
Aplikasi ilmu pendidikan ke dalam praktik kependidikan
Mendidik merupakan praktik mempengaruhi anak didik menuju kedewasaan
Praktik dan strategi pendidikan dan pembelajaran
Seni/kiat aplikasi pendidikan dan pembelajaran
Landasan-landasan Pendidikan
Landasan hukum pendidikan
Landasan filsafat pendidikan
Landasan sejarah pendidikan
Landasan sosial-budaya pendidikan
Landasan psikologi pendidikan
Landasan ekonomi Pendidikan
Landasan Hukum Pendidikan
Pancasila dan UU Dasar 45
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
UU, PP, Kepmen, SK Dirjen, dll. yang relevan
Hukum Dasar Pendidikan
Teori/hukum Empirisme (John Locke, 1632 – 1704), dimana perkembangan pribadi ditentukan oleh lingkungan, terutama lingkungan pendidikan. Manusia laksana kertas putih.
Teori/hukum Nativisme (Arthur Schopenhauer, 1988 – 1860), dimana perkembangan pribadi manusia hanya ditentukan oleh faktor hereditas atau faktor koderati.
Teori/hukum konvergensi (William Stern, 1971 – 1938), dimana perkembangan pribadi manusia merupakan akumulasi dari dari interaksi-sinergis antara potensi dasar dengan lingkungan pendidikan.
Landasan Filsafat Pendidikan
Esensialisme
Titik tekan pada esensi.
Esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang menerapkan prinsip idealisme dan realisme secara ekliktik.
Filsafat idealisme memberikan dasar filosofis bagi pelajaran sejarah, sedangkan realisme memberikan dasar filosofis bagi pelajaran ilmu pengetahuan alam.
Matematika merupakan dasar bagi idealisme, juga penting bagi idealisme, karena matematika adalah alat menghitung dan apa-apa yang riel dan material.
Landasan Filsafat Pendidikan
Perenialisme
Memiliki kesamaan dengan idealisme, karena menekankan pada kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered).
Orientasi kurikulum bersifat konstan atau perenial.
Titik tekan perenialisme adalah pada kehikmatan, yaitu kebenaran, keindahan, dan kecintaan pada kebaikan.
Mengkombinasikan kebenaran agama dengan kebenaran ilmu.
Perlu ada satu sistem pendidikan yang bersifat umum dan terbuka kepada umum.
Landasan Filsafat Pendidikan
Pragmatisme dan Progresivisme
Sesuatu dipandang sah dilakukan, jika ada manfaatnya.
Manusia akan berkembang jika berinteraksi dengan lingkungan berdasarkan kemampuan berpikir.
Sekolah merupakan lingkungan khusus yang menjadi penyambung lingkungan yang lebih umum.
Sekolah berfungsi menyeleksi dan menyederhanakan kebudayaan yang berguna bagi individu.
Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan pendekatan pemecahan masalah.
Landasan Filsafat Pendidikan
Progresivisme atau gerakan progresif pengembangan teori pendidikan mendasarkan diri pada beberapa prinsip, yaitu:
Anak harus bebas berkembang secara wajar
Pengalaman langsung picu utama minat belajar
Guru harus menjadi peneliti dan pembimbing anak
Sekolah harus menjadi ujung tombak reformasi pedagogis dan eksperimen
Landasan Filsafat Pendidikan
Konstruktivisme
Mazhab ini merupakan lanjutan dari cara berpikir progresif dalam pendidikan.
Masyarakat tidak hanya belajar dari pengalaman kekinian, melainkan harus memelopori ke arah pembentukan masyarakat baru.
Sekolah harus mengembangkan idiologi kemasyarakaatan yang demokratis.
Lulusan institusi sekolah tidak hanya diarahkan untuk memasuki dunia kerja seperti apa, melainkan juga akan mengubah wajah dunia kehidupan menjadi seperti apa.
Landasan Sejarah dan Sosbud Pendidikan
Tidak ada ilmu dan praktik pendidikan kekinian yang dimulai dari nol, semuanya berbasis dari fenomena sejenis masa lalu, baik yang kongruen maupun diskongruen.
Teori, praktik, dan pengalaman pendidikan dari luar dan dari dalam memberi sumbangsih pada teori, praktik, dan pengalaman pendidikan kekinian.
Perubahan lingkungan fisik, sosial, kebudayaan, dinamika global, dan lain-lain membawa perubahan konsepsi manusia tentang pendidikan.
Perubahan konsepsi manusia tentang hidup, mengubah konsepsinya tentang pendidikan.
Landasan Sejarah dan Sosbud Pendidikan
Perubahan konsepsi manusia tentang pendidikan akan mengubah konsepsi tentang tujuan pendidikan
Perubahan konsepsi manusia tentang tujuan pendidikan akan mengubah konsepsi tentang isi, struktur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Perubahan konsepsi manusia tentang isi, struktur, jenis, dan jenjang pendidikan merupakan usaha manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan tujuan hidup manusia.

Landasan Psikologis Pendidikan
Tiap-tiap anak memiliki sifat kepribadian yang unik, disebabkan oleh faktor keturunan, lingkungan, atau diri (self) / kehidupan kejiwaannya.
Setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda: jenius, sangat cerdas, pandai, di atas normal, normal/sedang, di bawah normal, dan sebagainya.
Tahap-tahap pertumbuhan anak memiliki ciri-ciri tertentu, mulai dari bayi, masa kanak-kanak, masa prapubertas, pubertas, remaja, hingga dewasa.
Pertumbuhan anak meliputi dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, emosi, dan spiritual.
Landasan Ekonomi Pendidikan
Pendidikan sebagai konsumsi, sebatas untuk menambah pengetahuan, mengisi waktu luang, memperluas pergaulan, dan prestise sosial.
Pendidikan sebagai investasi SDM berkualitas masa depan
Investasi pendidikan menuntut biaya, baik biaya langsung maupun biaya kesempatan (direct and opportunity cost).
Pendidikan yang bermutu menuntut biaya yang mahal.

Pendidikan dan Pembangunan SDM
Dorongan Berprestasi
Rasa ingin tahu
Motif berprestasi
Motivasi untuk self-development
Inisiatif
Disiplin
Keterampilan Humanistik
Komunikasi
Empati atau mengerti orang lain
Mempengaruhi orang lain
Membangun jaringan
Membangun kepercayaan
Kemampuan profesional dan Keterampilan Teknis
Penelusuran informasi
Analisis
Penguasaan Konsep
Kemampuan merefleksi dan memprediksi
Keterampilan-keterampilan khusus
Modal Dasar Manusia
Idealisme
Intelektual
Inisiatif
Informasi (well informed)
Ide – ide
Isi hati & budi
Istimewa fisik
Ihtiar

Membangun Jati Diri
Menggali potensi diri
Mengembangkan potensi diri secara terencana dan matang
Mengespresikan potensi yang dikembangkan itu dengan cara beradab dan santun
Menemukan makna pribadi dalam makna “be your self”



Guru Profesional
Kemampuan intelektual
Penguasaan spesialisasi
Kecakapan praktis
Teknik kerja yang dapat dikomunikasikan
Kapasitas mengorganisasikan pekerjaan
Mementingkan orang lain atau altruistik
Siap menerima saknsi masyarakat
Budaya profesional
Memiliki kode etik
Mutu Pendidikan
Mutu konteks atau lingkungan pendidikan: produk hukum, lingkungan belajar, dan keterpelajaran lingkungan.
Mutu masukan: masukan mentah, masukan material, dan masukan instrumental
Mutu proses: transformasi pendidikan dan pembelajaran di kelas dan di luar kelas
Mutu luaran: capaian pengetahuan, keterampilan, sikap, emosi, dan nilai-nilai spiritual
Mutu dampak: melanjutkan studi dan daya guna lulusan di masyarakat

Kendala Peningkatan Mutu
kemampuan keuangan yang tidak memadai
kepemimpinan kepala sekolah tidak kompeten
organisasi dan komitmen guru yang rendah
persepsi negatif dari masyarakat
penataan staf
kurikulum yang kurang relevan
konflik politik dan rasial
keterbatasan fasilitas
komunikasi yang tidak kondusif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan pesan.....

  © Blogger templates The Professional Template and Copyright 2009 Http://duniaartikelpendidikan.blogsot.com 2009 ---------By suhartono (Email : suhartono_unm20@yahoo.com and FB : thono_jhoe_unm) --------

Back to TOP