Selasa, 16 Februari 2010

Pendekar yang Menghargai Oksigen

Kegelapan telah membekap malam ketika beberapa pendekar dari Perguruan Bhayu Manunggal berkumpul di Padepokan Ambarketawang, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dengan diterangi lampu neon, mereka rakus menghirup dingin udara malam menggunakan jurus ilmu pernapasan di bawah arahan Tarsono (73), akhir Oktober lalu. Lima menit berlatih teknik dasar pernapasan, keringat deras mengucur membasahi pakaian seragam bela diri mereka.



Sejak setahun terakhir, Tarsono sudah jarang memberi latihan fisik karena raganya mulai ringkih. Akan tetapi, Tarsono masih menjadi tumpuan belajar energi pernapasan oleh para pendekar. Lebih dari 60 pendekar tua dari beragam organisasi masih berguru ilmu pernapasan pada Tarsono. Berpenampilan sederhana dan jauh dari wajah garang, Tarsono menjadi guru dan sesepuh dari banyak organisasi bela diri di Yogyakarta.
Di rumahnya, dengan lahan seluas 2.000 meter persegi yang berada tak jauh dari reruntuhan tembok petilasan Keraton Ambarketawang, beberapa perguruan silat sengaja memasang badge papan nama. Tarsono juga menyimpan berpasang-pasang baju bela diri dari berbagai perguruan silat hingga sering kali tak mengenali pakaian perguruan mana yang dikenakannya. Padahal, tak sekalipun dia tertarik bergabung ke dalam salah satu organisasi bela diri itu.
Masa muda Tarsono sarat dengan pertarungan. Kala itu, dia selalu menjadi orang pertama yang dicari oleh Corps Polisi Militer atau CPM tiap kali terjadi perkelahian antarremaja di Yogyakarta. Berawal dari tukang kelahi yang paling disegani, Tarsono sempat membaktikan ilmunya untuk melatih di Kopassus maupun Kodam I Iskandar Muda di Aceh.
Masa berkelahi secara fisik telah ditinggalkan, Tarsono kini berjuang membantu para pendekar untuk menangkal berbagai benturan hidup, yaitu dengan memanfaatkan pernapasan sebagai perisai diri. Berkumpul dan saling membagikan pengalaman hidup menjadi kekuatan tersendiri. Kesaksian akan keampuhan ilmu pernapasan menjadi kekuatan pendekar untuk terus berpikir positif dalam menjalani hidup.
Oksigen yang diraih oleh tubuh melalui teknik pernapasan berlimpah hingga empat kali lipat dibanding bernapas biasa. Para pendekar mengibaratkan oksigen sebagai uang yang harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Cadangan uang berupa napas yang tersimpan di dalam tubuh itu bisa digunakan sebagai penahan benturan fisik maupun nonfisik.
Berbekal kekuatan dari cadangan oksigen yang banyak, Tarsono bisa memecah benda keras dengan tangan kosong. Semakin besar tenaga yang dikeluarkan, makin besar pula cadangan oksigen yang dibutuhkan. Tenaga dari oksigen itu bisa dikendalikan dan sering kali muncul dengan sendirinya ketika tubuh sedang diancam bahaya.
Ilmu bela diri, kata Tarsono, terbukti telah beberapa kali menyelamatkan hidupnya. Dia lalu mengisahkan ketika sempat hampir tertabrak mobil di jalan raya: ”Saya lalu salto dan berdiri di atas kap mobil yang melaju kencang itu. Sejak itu, saya jadi kondang (terkenal),” ujarnya sambil tertawa.
Hampir semua organisasi bela diri di Yogyakarta, seperti Pelopor Organisasi Pencak Silat Indonesia Bhayumanunggal, Persatuan Silat Indonesia Wijaya Kusuma, Perguruan Taekwondo, hingga Aikido, menganggap Tarsono sebagai sesepuh sekaligus guru. Murid-muridnya sering kali berdatangan ke rumahnya untuk minta saran tentang teknik pernapasan atau sekadar berbagi kesaksian hidup.
Dalam satu malam, Tarsono bisa 500 kali berlatih tarikan napas tanpa berhenti. Saat ini, jumlah muridnya sudah tak terhitung. Sebagian besar muridnya itu kemudian menjadi guru bela diri maupun teknik pernapasan.
Meski telah lepas dari bela diri fisik, menurut Tarsono, ilmu berkelahi tetap menjadi dasar dari latihan pernapasan. Seperti halnya perkelahian, teknik pernapasan bisa dilakukan di mana saja dan kapan pun. Berbeda dengan ilmu bela diri dari mancanegara yang membutuhkan ruang atau persyaratan tertentu, ilmu yang diperoleh Tarsono dari Keraton Yogyakarta ini cenderung membebaskan dengan prinsip menyedot oksigen sebanyak-banyaknya.
Berkelahi
Melihat sang ayah, Mulyo Sugondo, yang aktif mengajar bela diri di Perguruan Silat Suci Hati, pria kelahiran 24 April 1935 ini mulai tertarik ilmu berkelahi. Tarsono hanya sebentar berguru pada sang ayah karena dia lebih tertarik ilmu kanuragan dari Keraton Yogyakarta yang diajarkan oleh RM Harimurti. Harimurti adalah cucu Sultan Hamengku Buwono VII.
Di usianya yang baru 22 tahun, Tarsono telah menjadi guru silat di Yogyakarta. Berkelahi dan tak pernah kalah, membuat tawaran untuk menjadi pelatih bela diri terus mengalir dari berbagai daerah. Tarsono selanjutnya diundang oleh Wali Kota Solo untuk melatih di seluruh wilayah Eks-Karesidenan Surakarta. Keahlian bela diri pula yang membuat dia ditawari menjadi dosen ilmu bela diri di Sekolah Tinggi Olahraga Negeri Surakarta dan pegawai negeri di Dinas Penghasilan Daerah Surakarta.
Pada tahun 1965, Tarsono menjadi satu-satunya pelatih bagi para perwira untuk ilmu kekuatan di Kopassus. Pembekalan bela diri yang dibagikan oleh Tarsono terutama adalah kemampuan memecah benda keras. Selain memperoleh kemampuan otot, para perwira dilatih untuk berani dan memiliki mental yang kuat.
Pada tahun 1980, Tarsono kembali dipanggil oleh Kodam I Iskandar Muda untuk mengajar ilmu berkelahi dengan teknik pernapasan. Di sela melatih militer, dia juga mengajar ilmu bela diri di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Melihat tingginya minat untuk belajar ilmu pernapasan kala itu, Tarsono kemudian menulis buku bertajuk Ilmu Pernafasan untuk Kesaktian dan Sugesti yang diterbitkan Yayasan Budhi Mandiri, tahun 1981. Buku itu sempat dicetak hingga tiga kali dalam setahun.
Tak tahan terus-menerus berpisah dengan istri dan lima anaknya, pria yang murah senyum ini memilih kembali menetap di Yogyakarta.
Dia selalu mengajari murid-muridnya untuk memegang lima prinsip dasar, yaitu percaya kepada Tuhan, berbakti serta menghargai orangtua dan guru, sabar dan tahu benar salah, tidak boleh lari dari kenyataan, serta tidak ada kalah dan menang.
Karena kecintaannya pada ilmu bela diri, Tarsono selalu melatih tanpa mengharap imbalan. Ketika masih aktif melatih, dia bisa mengajar hingga 13 kali dalam satu pekan tanpa memperoleh uang sepeser pun. Kakek dari enam cucu ini mengaku ingin istirahat di masa tuanya, tetapi dia tak pernah sanggup membendung kehadiran para muridnya untuk sekadar meminta nasihat atau berlatih teknik pernapasan
Sejak setahun terakhir, Tarsono sudah jarang memberi latihan fisik karena raganya mulai ringkih. Akan tetapi, Tarsono masih menjadi tumpuan belajar energi pernapasan oleh para pendekar. Lebih dari 60 pendekar tua dari beragam organisasi masih berguru ilmu pernapasan pada Tarsono. Berpenampilan sederhana dan jauh dari wajah garang, Tarsono menjadi guru dan sesepuh dari banyak organisasi bela diri di Yogyakarta.
Di rumahnya, dengan lahan seluas 2.000 meter persegi yang berada tak jauh dari reruntuhan tembok petilasan Keraton Ambarketawang, beberapa perguruan silat sengaja memasang badge papan nama. Tarsono juga menyimpan berpasang-pasang baju bela diri dari berbagai perguruan silat hingga sering kali tak mengenali pakaian perguruan mana yang dikenakannya. Padahal, tak sekalipun dia tertarik bergabung ke dalam salah satu organisasi bela diri itu.
Masa muda Tarsono sarat dengan pertarungan. Kala itu, dia selalu menjadi orang pertama yang dicari oleh Corps Polisi Militer atau CPM tiap kali terjadi perkelahian antarremaja di Yogyakarta. Berawal dari tukang kelahi yang paling disegani, Tarsono sempat membaktikan ilmunya untuk melatih di Kopassus maupun Kodam I Iskandar Muda di Aceh.
Masa berkelahi secara fisik telah ditinggalkan, Tarsono kini berjuang membantu para pendekar untuk menangkal berbagai benturan hidup, yaitu dengan memanfaatkan pernapasan sebagai perisai diri. Berkumpul dan saling membagikan pengalaman hidup menjadi kekuatan tersendiri. Kesaksian akan keampuhan ilmu pernapasan menjadi kekuatan pendekar untuk terus berpikir positif dalam menjalani hidup.
Oksigen yang diraih oleh tubuh melalui teknik pernapasan berlimpah hingga empat kali lipat dibanding bernapas biasa. Para pendekar mengibaratkan oksigen sebagai uang yang harus dikumpulkan sebanyak-banyaknya. Cadangan uang berupa napas yang tersimpan di dalam tubuh itu bisa digunakan sebagai penahan benturan fisik maupun nonfisik.
Berbekal kekuatan dari cadangan oksigen yang banyak, Tarsono bisa memecah benda keras dengan tangan kosong. Semakin besar tenaga yang dikeluarkan, makin besar pula cadangan oksigen yang dibutuhkan. Tenaga dari oksigen itu bisa dikendalikan dan sering kali muncul dengan sendirinya ketika tubuh sedang diancam bahaya.
Ilmu bela diri, kata Tarsono, terbukti telah beberapa kali menyelamatkan hidupnya. Dia lalu mengisahkan ketika sempat hampir tertabrak mobil di jalan raya: ”Saya lalu salto dan berdiri di atas kap mobil yang melaju kencang itu. Sejak itu, saya jadi kondang (terkenal),” ujarnya sambil tertawa.
Hampir semua organisasi bela diri di Yogyakarta, seperti Pelopor Organisasi Pencak Silat Indonesia Bhayumanunggal, Persatuan Silat Indonesia Wijaya Kusuma, Perguruan Taekwondo, hingga Aikido, menganggap Tarsono sebagai sesepuh sekaligus guru. Murid-muridnya sering kali berdatangan ke rumahnya untuk minta saran tentang teknik pernapasan atau sekadar berbagi kesaksian hidup.
Dalam satu malam, Tarsono bisa 500 kali berlatih tarikan napas tanpa berhenti. Saat ini, jumlah muridnya sudah tak terhitung. Sebagian besar muridnya itu kemudian menjadi guru bela diri maupun teknik pernapasan.
Meski telah lepas dari bela diri fisik, menurut Tarsono, ilmu berkelahi tetap menjadi dasar dari latihan pernapasan. Seperti halnya perkelahian, teknik pernapasan bisa dilakukan di mana saja dan kapan pun. Berbeda dengan ilmu bela diri dari mancanegara yang membutuhkan ruang atau persyaratan tertentu, ilmu yang diperoleh Tarsono dari Keraton Yogyakarta ini cenderung membebaskan dengan prinsip menyedot oksigen sebanyak-banyaknya.
Berkelahi
Melihat sang ayah, Mulyo Sugondo, yang aktif mengajar bela diri di Perguruan Silat Suci Hati, pria kelahiran 24 April 1935 ini mulai tertarik ilmu berkelahi. Tarsono hanya sebentar berguru pada sang ayah karena dia lebih tertarik ilmu kanuragan dari Keraton Yogyakarta yang diajarkan oleh RM Harimurti. Harimurti adalah cucu Sultan Hamengku Buwono VII.
Di usianya yang baru 22 tahun, Tarsono telah menjadi guru silat di Yogyakarta. Berkelahi dan tak pernah kalah, membuat tawaran untuk menjadi pelatih bela diri terus mengalir dari berbagai daerah. Tarsono selanjutnya diundang oleh Wali Kota Solo untuk melatih di seluruh wilayah Eks-Karesidenan Surakarta. Keahlian bela diri pula yang membuat dia ditawari menjadi dosen ilmu bela diri di Sekolah Tinggi Olahraga Negeri Surakarta dan pegawai negeri di Dinas Penghasilan Daerah Surakarta.
Pada tahun 1965, Tarsono menjadi satu-satunya pelatih bagi para perwira untuk ilmu kekuatan di Kopassus. Pembekalan bela diri yang dibagikan oleh Tarsono terutama adalah kemampuan memecah benda keras. Selain memperoleh kemampuan otot, para perwira dilatih untuk berani dan memiliki mental yang kuat.
Pada tahun 1980, Tarsono kembali dipanggil oleh Kodam I Iskandar Muda untuk mengajar ilmu berkelahi dengan teknik pernapasan. Di sela melatih militer, dia juga mengajar ilmu bela diri di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Melihat tingginya minat untuk belajar ilmu pernapasan kala itu, Tarsono kemudian menulis buku bertajuk Ilmu Pernafasan untuk Kesaktian dan Sugesti yang diterbitkan Yayasan Budhi Mandiri, tahun 1981. Buku itu sempat dicetak hingga tiga kali dalam setahun.
Tak tahan terus-menerus berpisah dengan istri dan lima anaknya, pria yang murah senyum ini memilih kembali menetap di Yogyakarta.
Dia selalu mengajari murid-muridnya untuk memegang lima prinsip dasar, yaitu percaya kepada Tuhan, berbakti serta menghargai orangtua dan guru, sabar dan tahu benar salah, tidak boleh lari dari kenyataan, serta tidak ada kalah dan menang.
Karena kecintaannya pada ilmu bela diri, Tarsono selalu melatih tanpa mengharap imbalan. Ketika masih aktif melatih, dia bisa mengajar hingga 13 kali dalam satu pekan tanpa memperoleh uang sepeser pun. Kakek dari enam cucu ini mengaku ingin istirahat di masa tuanya, tetapi dia tak pernah sanggup membendung kehadiran para muridnya untuk sekadar meminta nasihat atau berlatih teknik pernapasan

1 komentar:

  1. mas, cetakan buku dari pak tarsono masih ada?
    saya mencari2 buku beliau namun susah sekali di temukan sekarang..

    kalau memang ada, boleh saya meminta ato meng kopi? karena saya tertarik dengan ilmu pernafasan..

    terimakasih..

    tolong email ke famefrog_n_foxyfish@yahoo.com

    BalasHapus

tinggalkan pesan.....

  © Blogger templates The Professional Template and Copyright 2009 Http://duniaartikelpendidikan.blogsot.com 2009 ---------By suhartono (Email : suhartono_unm20@yahoo.com and FB : thono_jhoe_unm) --------

Back to TOP