Jumat, 08 Januari 2010

Oleh : suhatono
Universitas Negeri makassar

A. PENDAHULUAN
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia senantiasa berubah seiring dengan konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan. Pada saat bangsa Indonesia berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, pendidikan mengabdi untuk mewujudkan patriotisme dan nasionalisme. Pada saat Indonesia mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, pendidikan nasional berperan memfasilitasi terwujudnya sumber daya manusia pembangunan. Di jaman reformasi yang meluncur sejak tahun 1997, dunia pendidikan juga terimbas dengan tuntutan-tuntutan era reformasi. Reformasi mengendaki suatu tatanan berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi kemanusiaan, demokrasi, penegakan hukum, keadilan, dan perwujudan masyarakat madani/sipil. Reformasi Indonesia juga mencuatkan adanya kebutuhan sosok manusia yang bertaqwa dan berakhlak mulia, berjiwa patriotis, dan memiliki semangat nasionalisme, dan juga menguasai Ipteks. Pada akhirnya, di era reformasi tersebut pendidikan dituntut dapat memfasilitasi terwujudnya sosok manusia dan masyarakat yang reformis.
Isu-isu sentral yang dihadapi bangsa Indonesia pada era dan pasca era reformasi mencakup pula globalisasi yang makin merasuk dan menerpa dengan keras terhadap seluruh aspek kehidupan, harus segera dijawab oleh bangsa Indonesia dengan mempersiapkan tenaga pembangunan yang tangguh dan berwawasan global. Globalisasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi merupakan salah satu karakteristik Abad 21 yang sangat signifikan. Isu ke dua terkait dengan tantangan situasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri untuk melakukan reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Isu ke tiga berkaitan dengan otonomi daerah yang telah menciptakan kondisi baru untuk melakukan pembaharuan di berbagai sektor pembangunan nasional, termasuk sektor pendidikan. Perubahan di sektor pendidikan tidak saja berkait dengan sistem kelembagaan dan program pendidikan, tetapi juga berkait dengan visi, misi, dan peranannya dalam merespon tuntutan baru dewasa ini dengan wawasan global, nasional, regional, dan lokal.
Abad 21 ditandai pula dengan berkembanganya teknologi informasi dengan hadirnya hardware dan software yang semakin variatif, canggih, dan efisien. Era revolusi informasi itu telah membawa implikasi terhadap dunia pendidikan dan pembelajaran. Salah satu wujud dampak revolusi informasi itu adalah semakin tidak terbatasnya kebutuhan belajar, maupun cara-cara memenuhi kebutuhan itu. Belajar bukan lagi monopoli lembaga pendidikan profesional, tetapi bisa juga terjadi di dalam rumah, di tempat kerja, di jalan, di tempat hiburan, melalui media masa dan sebagainya. Pada masyarakat informasi itu sumber belajar juga bukan semata-mata guru atau tenaga pendidikan profesional lain. Seseorang atau media komunikasi yang menyimpan atau menyampaikan pesan-pesan komunikasi dapat pula menjadi sumber belajar yang efektif bagi seseorang atau masyarakat secara luas. Pendek kata belajar dapat terjadi dengan bentuk multi agensi, multi tujuan, multi model dan forum multi media, dan multi sasaran didik. Proses belajar menjadi semakin tidak berbatas dan tidak bertepi. Dalam berbagai variasi kecenderungan perubahan konstelasi lingkungan strategis itu langkah pembaharuan sektor pendidikan dengan segala komponennya perlu dilakukan.

B. PENJAJAHAN TAK KENTARA
Pembangunan di Indonesia telah memasuki era baru yang mengarah ke era industrialisasi. Kebijakan ekonomi, politik, sosial budaya termasuk pendidikan terwarnai oleh era industrialisasi yang telah dicanangkan. Tentu saja era ini kiranya telah mulai diacu oleh sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia.
Di negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika, pendidikan telah menolehkan orientasinya ke arah kemajuan bangsanya melalui industrialisasi. Beberapa negara di kawasan Asia Timur dan Tenggara yang telah lebih dahulu mengarahkan kebijakan pembangunannya ke arah industrialisasi antara lain Cina, Jepang, Taiwan,Korea Selatan, Singapura, Thailan, dan Malaysia (Thomas, 1983). Di antara enam negara tersebut, Cina telah memasuki industrialisasi lebih dulu, diikuti Jepang (yang kemudian perkembangannya lebih cepat dari Cina), kemudian Singapura, Korea Selatan, Thailand, baru kemudian Malaysia. Dalam sejarah perkembangannya, masing-masing negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam memasuki era industrialisasi, terutama sambutan dan topangan sistem pendidikan terhadap industrialisasi itu.
Jepang telah memasuki era industrialisasi sebelum Perang Dunia II (Thomas, 1983), Cina sejak 1905 ketika di bawah penjajahan Jepang, Korea Selatan sejak 1962 masuk ke era industrialisasi, sementara Indonesia baru mulai pada PJPT II sejak 1992. Tentu saja Indonesia banyak belajar dari negara- negara yang telah maju dan yang telah mendahului kita memasuki era industrialisasi.
Analisis sistem dunia tentang pendidikan mengacu pada tinjauan makro dan mikro tentang sistem pendidikan dunia. Aspek-aspek lain (ekonomi, sosiologi, dan kultur) sangat berpengaruh dalam mewawas sistem pendidikan yang berkembang di negara-negara seluruh dunia. Dengan wawasan ini, dunia ini tampak menjadi satu keluarga besar pendidikan. Dengan demikian, negara yang kuat dan kaya akan memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap sistem pendidikan di negara- negara lemah dan miskin. Apalagi sejarah kolonialisme di negara- negara Dunia Ke Tiga cukup memberikan warna terhadap sistem pendidikan di negara bekas jajahannya.
Jika pada waktu yang lampau penjajahan langsung penguasaan wilayah, maka pada jaman modern ini tetap berlangsung penjajahan dalam bentuk lain di bidang ekonomi, budaya, dan pendidikan. Bentuk penjajahan baru semacam ini disebut penjajahan tak kentara (disguise colonialization). Munculnya agen-agen bantuan dunia di bidang pendidikan merupakan wujud tersamar sistem penjajahan itu. Altbach (1982) mengistilahkan dalam bentuk "kolonialisme literatur" dan "perbudakan pemikiran". Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, maka jati diri nasional negara- negara berkembang akan tergeser. Bagi negara-negara Dunia Ke Tiga, posisi ini bagaikan memakan buah simalakama. Jika tidak menerima bantuan dan membuka diri atas perkembangan ilmu dari negara maju, maka negaranya akan tetap tertinggal. Namun, jika tetap menerima bantuan dan membuka diri, implikasi pengaruh budaya, ekonomi, dan sosial negaranya akan menjadi korban.

C. IDEALISTIK PENDIDIKAN DAN KURIKULUM KITA
Sebelum membahas pendekatan pendidikan sebagai pendekatan baru dalam pembelajaran dan pendidikan, perlu disampaikan persoalan mendasar sistem pendidikan di Indonesia.
Kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh sistem pendidikan yang diterapkan di suatu negara. Dalam kaitan ini pendidikan menduduki posisi sentral dalam membentuk manusia seutuhnya, seperti halnya di Indonesia tujuan pendidikan nasionalnya telah termuat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang telah mendasarkan diri pada makna untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD Tahun 1945 yang sekarang masih diamandemen), yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA KINI DAN MASA MENDATANG
UNESCO (1995) melalui Report of the International Commission on Education for the Twenty first Century menyebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di dunia mengacu pada empat pilar belajar, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Learning to know terkait dengan pengembangan ranah kognitif dan pengetahuan profesional sesuai dengan bidangnya. Learning to do mengacu pada pengembangan ranah psikomotorik dan atau ketrampilan profesional sesuai dengan spesialisasi dan jenjang pendidikannya. Learning to be mengacu pada pengembangan ranah afektif dan aspek etik peserta didik dalam pembentukan sikap dan kepribadiannya secara utuh, dan learning to live together mengacu pada pengembangan aspek sosial dan kecintaan terhadap lingkungan. Keempat pilar ini harus menjadi acuan dalam mempersiapkan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya serta anak didiknya.
Semua sasaran idealistik itu mestinya telah tergambar dalam kurikulum kita di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Namun, apa yang terjadi – baik dalam tataran sistemik konseptual maupun tataran praksis --- belum menampakkan wujud yang kentara ke arah tujuan itu. Pada tingkat sistemik konseptual belum tecermin secara sistematik jabaran jelas pangejawantahan masing-masing sasaran ideal tujuan pendidikan nasional dan empat pilar pendidikan dunia itu, terbukti belum jelasnya runutan materi pembelajaran mana yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mana yang meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, mana yang memperkokoh kepribadian (dan seterusnya) dan mana yang mengembangkan aspek sosial dan kecintaan terhadap lingkungan (learning to live together)? Semuanya serba dititipkan ke dalam bidang studi sebagai hidden curriculum. Materi bidang studi dipahami sebagai pengetahuan yang harus dijejalkan kepada anak didik dengan cek kualitas melalui UAN (untuk SLTP, SMU, dan SMK) dan UAS (untuk SD) yang notabene hanya dan hanya cek pengetahuan yang verbalistik (akhir-akhir ini telah berusaha cek ketrampilan berbahasa). Sungguh, keberhasilan yang diukur hanya dengan NUN merupakan ukuran keberhasilan pendidikan yang “keblinger” (Soetopo, 2001). Selama ini barometer pendidikan kita telah “keblinger “ ke arah salah satu sisi pengembangan potensi anak didik, yaitu Nilai UAN Murni. Mulai dari jajaran birokrasi pendidikan, masyarakat sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat pada umumnya menempatkan NUN sebagai ukuran utama keberhasilan pendidikan. Tidak jarang anak di sekolah dijejali materi pelajaran demi pengejaran nilai NUN, sementara di rumah anak-anak dipaksa untuk mengerjakan PR yang bertubi-tubi, bahkan banyak orang tua siswa yang mengikutkan anak-anaknya untuk les matapelajaran baik secara privat maupun di lembaga-lembaga non-formal dengan latihan membahasa soal-soal UAS dan UAN terdahulu demi pengejaran NUN. Hak-hak anak untuk bermain, mengaji, bersosialisasi dengan teman sebayanya, dan hak untuk berkegiatan rekreatif dirampas habis waktunya demi upaya pengejaran NUN tinggi.
Menghadapi kenyataan tersebut, tampaknya sistem pendidikan kita telah mulai bergeser jauh dari cita-cita membentuk manusia seutuhnya. Jika anak-anak kita sekarang kurang santun, kurang “tepa selira” (saling menghargai), kurang bijak, dan kurang pandai menempatkan diri, tetapi mereka cerdas-cerdas otaknya, jangan disalahkan mereka. Mereka adalah produk pendidikan kita yang kita rancang kemarin. Oleh sebab itu perlu adanya solusi dengan redesign (perancangan ulang) secara sistemik pendidikan nasional kita dengan menjabarkan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU (yang sudah lumayan bagus) itu ke dalam pedoman-pedoman umum dan pedoman-pedoman aplikatif pendidikan.
Upaya yang dapat dilakukan adalah menterjemahkan tujuan pendidikan nasional kita dan empat pilar pendidikan global ke dalam sosok kemampuan umum lulusan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Sosok kemampuan mana yang semestinya merupakan terjemahan “beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan atau pilar learning to be, sosok kemampuan mana yang merupakan terjemahan tujuan pendidikan nasional “berpengetahuan” dan atau pilar learning to know, sosok mana yang merupakan terjemahan “berketrampilan” dan atau pilar learning to do, dan seterusnya untuk masing-masing jenis dan jenjang pendidikan. Hasil rumusan terjemahan/jabaran tujuan pendidikan pendidikan nasional ini menjadi dasar perumusan kompetensi umum tiap bidang studi untuk berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Tampaknya langkah ini telah dilakukan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi-nya (2001) yang saat ini sedang dalam tahap uji-coba di sebagian SD dan SLTP di Indonesia,

D. KONSEP “BERBASIS” YANG MARAK
Dengung otonomi daerah telah bergaung dan gemanya semarak ke pelosok negeri. Muncullah berbagai upaya menggali teori-teori lama yang relevan dengan diterapkannya undang-undang tentang otonomi daerah. Hasil galian itu memunculkan jargon baru di dunia pendidikan kita, yang setiap bidang latah menggunakannya, misalnya manajemen berbasis sekolah, pendidikan berbasis masyarakat, kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan berbasis lingkungan, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, belajar-mengajar berbasis ketrampilan hidup, dan basis-basis lainnya. Teori-teori yang melandasi konsep-konsep tersebut di atas sebenarnya telah ada sejak tahun 1980-an. Sebagai contoh Skilbeck (1984) telah membahas konsep pengembangan kurikulum berbasis sekolah dan Leonard & Utz (1974) telah membahas tentang membangun ketrampilan untuk mengajar berbasis kompetensi, bahkan Tyler (1949) telah menulis penekanan kurikulum berbasis pengalaman yang menggunakan situasi kehidupan sehari-hari sebagai bahan belajar.
Dewasa ini kualitas pendidikan menjadi perhatian serius pemerintah dan stakeholders yang terkait dengan pendidikan. Di negara-negara maju, perhatian terhadap kualitas semakin intensif sejak dasawarsa 1980-an, antara lain dibentuknya badan yang secara khusus menangani kualitas pendidikan (Hoy, Bayne-Jardine dan Wood, 2000). Beberapa lembaga pendidikan secara konsisten bertindak secara konkrit dan konsisten menerapkan total quality management (TQM) dengan sistem jaminan kualitas yang integral, sistematik, dan berkelanjutan dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan (Craft, 1992; Murgatroyd dan Morgan, 1993).
Di Indonesia, salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan dilakukan dengan mrenyebarkan konsep manajemen berbasis sekolah (school-based management) yang relevan dengan era otonomi daerah. Pendekatan manajemen ini pernah diujicobakan di salah satu SMA di wilayah Cincinnatti, Ohio Amerika Serikat dalam rangka otonomi dan akuntabilitas pembaharuan pendidikan berbasis standard. Akhirnya ditemukan model yang disebut team-based schooling yang pada intinya semua pembaharuan dan peningkatan mutu dirancang dan dikerjakan secara tim. Di Indonesia telah memiliki model pengembangan gugus dengan pengaktifan KKPS, KKKS, dan MGBS. Embriyo pengembangan semacam ini harus tetap dipertahankan dan ditingkatkan berdayanya. Di lingkungan sekolah, sistem pengembangan dengan Tim ini juga menjadi daya tawar yang tinggi. Paradigma pengembangan sekolah ke depan tidak lagi terlalu struktural sentralistik, tetapi sudah mengarah ke kultural desentralistik.

E. PARADIGMA YANG BERUBAH
Pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah kita akan dapat meningkatkan mutu pembentukan manusia seutuhnya jika paradigma pendidikan kita mulai mau mewawas pendekatan pendidikan yang mendudukkan siswa sebagai subyek didik yang utama. Selama ini teori-teori pendidikan telah banyak mengungkap pentingnya anak didik sebagai subyek yang senyatanya. Namun dalam tataran praksis anak didik masih tetap menjadi obyek pendidikan, sehingga cukup memprihatinkan. Secara psikologis anak belajar dalam suasana yang tertekan. Anak (mulai SD sampai SMTA bahkan di perguruan tinggi) sepanjang hidupnya dalam suasana tertekan jiwanya, karena pembelajaran yang terjadi kurang meng-“orang”-kan anak didik dan atau kurang meng-“anak”-kan anak didik. Mereka akan dibentuk pribadinya oleh sistem yang dicipta secara kaku dan ketat sehingga kurang menggembirakan anak didik. Hal ini sudah berjalan berpuluh tahun dan sangat sukar diadakan perubahan, karena teori-teori pembelajaran yang dipilih dan diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan lebih pada pendidikan yang berarti bimbingan dan pengarahan daripada pemberdayaan dan fasilitasi. Salah satu pendekatan belajar yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah joyful-learning.

F. NOVASI PENDIDIKAN
Di Indonesia, telah banyakupaya inovatif dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Jika pada dasawarsa 1980an dan 1990an Indonesia masih membenahi pemerataan pendidikan, maka pada era 2000an mulai membidik peningkatan kualitas pendidikan.
Inovasi pendidikan di Indonesia yang pernah dilakukan di antaranya Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Pendidikan oleh Masyarakat, Orang Tua dan Guru (Pamong), Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Strengthening the Planning and Management Capabili¬ties of the Provincies in the Education Sector (STEPPES), Commu¬nity Participating in Planning and Management of Education Re¬sources (COPLANER), dan Primary Education Quality Improvement Project (PEQIP). Bahkan selain PAMONG, untuk memeratakan pendidikan diadakan SD Kecil, SMP Terbuka, Penyetaraan A, B, C, dan upaya lain yang nerupaya untuk memeratakan pendidikan. Upaya untuk mengatasi kekurangan SDM pendidikan juga dilaksanakan berbagai proyek antara lain pengadaan guru SD, Proyek PGSLP, program-program Diklat, dan berbagai uji coba pelaksanaan supervisi pendidikan. Namun, hasilnya masih belum dapat bersaing di kalangan global.
Dewasa ini banyak pembaharuan konsep, istilah, dan kebijakan yang jelas, tetapi membingungkan bagi kalangan praktisi. Di antara hamparan konsep, istilah, dan kebijakan yang berkait dengan KBK, CTL, MPMBS, BBE, Life Skill, Belajar dan Mengajar Quantum, Pilar Pendidikan Internasional (UNESCO), Cooperative Learning, Pendidikan Berbasis Lingkungan, Budi Pekerti, Joyful Learning, Pendidikan Vokasional, Pembelajaran Untuk Pembebasan, PAKEM, Konstruktivistik, Pendidikan Berbasis Masyarakat, RENSTRA, DIPA, SWOT, Manajemen Akuntabilitas Kinerja, Laporan Akuntabilitas Kinerja, Otonomi, Desentralisasi, Transfaransi, Dual System, Budaya Mutu.



G. PENDEKATAN PEMBELAJARAN KE DEPAN
Joyful-learning merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang berusaha menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan anak didik sehingga anak dapat mengembangkan segala potensinya dengan usaha yang normal untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pendekatan pembelajaran semacam ini hanya dapat dilaksanakan jika paradigma pembelajaran berubah. Selama ini pendekatan behavioristik dalam pembelajaran sangat kental mewarnai dunia pendidikan kita. Sementara itu pendekatan humanistik dan konstruktivis kurang mendapat penekanan. Suasana batin anak didik yang digambarkan tersebut di atas (selama menempuh pendidikan dalam suasana tertekan jiwanya) lebih diwarnai oleh aliran behavioristik dalam pembelajaran. Hal ini terkait dengan pengejaran target materi pengetahuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam kurun waktu tertentu. Oleh sebab itu perlu adanya keberanian mulai dari pihak pembuat policy pendidikan sampai pelaksana di lapangan untuk menetapkan kebijakan dengan pendekatan belajar yang lebih menyenangkan siswa. Ada perbedaan esensial antara pendekatan behavioristik dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran. Berikut dipaparkan serba singkat perbedaan kedua pendekatan tersebut kiranya menjadi bahan perenungan bagi kita dalam pembelajaran.
Kunci utama pembahagiaan anak didik dalam konteks pembelajaran adalah pemberian hak dan kewajiban yang seimbang kepada mereka untuk merealisasikan dirinya secara maksimal dalam belajar dan pembelajaran berbasis lingkungan. Peran guru dan pengelola sekolah sangat menentukan dalam penciptaan kondisi dan situasi belajar-mengajar yang terjadi di sekolah.


PERBANDINGAN PANDANGAN

BEHAVIORISTIK KONSTRUKTIFISTIK


HAKEKAT BELAJAR-MENGAJAR
Pengetahuan: Pengetahuan:
Obyektif, pasti, tetap non-obyektif, temporer, se-
lalu berubah

Belajar: Belajar:
Memperoleh pengetahuan Pemberian makna pengeta-
huan

Mengajar: Mengajar:
Pemberian pengetahuan Penggalian makna bersama



UNIFORMITAS
Pemahaman sama dengan Pemahaman berbeda-beda
guru siswa-guru

Keteraturan, seragam, Ketidakteraturan,
disiplin kebebasan

Kontrol oleh sistem Kontrol oleh siswa



KEGAGALAN
Gagal, tak mampu : Gagal, tak mampu:
Salah, Dihukum Dihargai

Berhasil, mampu: Berhasil, mampu:
Hadiah Dihargai




TUJUAN PEMBELAJARAN

Penambahan Pengetahuan Pemahaman makna

Berhasil = mampu mengu- Berhasil = kreatif, produk-
lang yang telah dipelajari tif, pengalaman nyata

Ketrampilan terisolasi Ketrampilan integral

Tekanan hasil Tekanan proses



KONTEKS PEMBELAJARAN

Ikuti Kurikulum ketat Ikuti pandangan anak

Belajar ikut buku teks Belajar konteks nyata



STRATEGI PEMBELAJARAN

Ditentukan Guru Ditentukan siswa atas
Fasilitasi guru

Respon pasif Respon aktif

Satu jawaban benar Pemecahan ganda

Evaluasi terpisah dr belaj. Evaluasi integral dlm. belaj


IMPLIKASI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

1. Belajar = proses pemaknaan informasi baru
2. Dorong diskusi pengetahuan yang dipelajari
3. Dorong berfikir variatif, bukan satu jawaban
4. Dorong muncul jenius yang meluapkan pikiran & aktivitas
5. Ketrampilan berpikir kritis
6. Dorong pelacakan informasi baru
7. Sediakan pilihan tugas
8. Memperlihatkan keberhasilan variatif
9. Waktu cukup berpikir dan mengerjakan tugas
10. Evaluasi berjalan selama proses
11. Kesempatan mengulang sampai tuntas
12. Kaitkan tugas dg. pengalaman nyata sehari-hari
13. Pahamkan kaitan usaha dan hasil serta maknanya
14. Kerja kelompok, aspek sosial, hargai o.l., bersama
15. Hargai cara berpikir dan belajar yang sesuai tipe dirinya
16. Beri kesempatan evaluasi diri tentang proses dan hasil belajarnya
17. Berikan motivasi belajar berkelanjutan: Anda mampu dan pasti dapat meraih hasil maksimal; keyakinan diri

Perbandingan pandangan itu memberikan pemahaman kepada kita bahwa tampaknya pandangan konstruktivistik dan humanistik lebih memberikan peluang topangan PAKEM daripada pandangan behavioristik dalam pembelajaran. Oleh sebab itu pembelajaran lingkungan hidup akan lebih hidup jika ditopang oleh pendekatan yang lebih dapat memberikan kemungkinan anak didik mencapai kepuasan dengan penuh kebebasan dalam menempuh pendidikan, sehingga muncul pribadi-pribadi yang tangguh, mandiri, dan bertanggungjawab.

H. LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
Dilihat dari segi sekolah sebagai lembaga pembelajaran, lingkungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) lingkungan internal sekolah yang terdiri atas: a) lingkungan fisik mulai dari fasilitas belajar, bangunan, sampai dengan tanah pekarangan sekolah, b) lingkungan sosial yang terdiri atas antar personel hubungan guru-guru, siswa-guru, siswa-siswa, siswa-pegawai, siswa-pimpinan, dan seterusnya, c) lingkungan hidup baik berupa binatang maupun tumbuhan yang ada di lingkungan sekolah; 1) lingkungan eksternal sekolah yang dapat berupa: a) orang sebagai sumber belajar, misalnya tokoh masyarakat, tokoh agama, para pejabat, dokter, ahli hukum, militer dan polisi, dan profesi lain yang relevan; b) benda sebagai sumber belajar, misalnya benda purbakala, bangunan, sungai, benda kerajinan dan produk lainnya; c) organisasi sebagai sumber belajar, misalnya organisasi profesi, organisasi kepemudaan, LSM, dan organisasi sosial kemasyarakatan; d) binatang dan tumbuhan sebagai sumber belajar, termasuk kebun binatang, kebun raya, hutan, kolam ikan, sawah, dsb.; e) instansi/lembaga sebagai sumber belajar, misalnya pabrik, perusahaan, bank, rumah sakit, kantor pemerintah mulai kementerian, gubernuran, pemda, sampai RT & RW; dan f) lingkungan pergaulan anak di masyarakat.
Lingkungan dapat pula dibagi menjadi lingkungan fisis, lingkungan sosial, dan lingkungan psikologis. Lingkungan fisis berkait dengan semua benda fisis baik benda hidup maupun benda mati, lingkungan sosial berkait dengan hubungan antar manusia baik secara informal maupun formal, dan lingkungan psikologis merupakan suasana kejiwaan setiap individu dan orang lain dalam konteks pergaulan hidupnya dan dalam pergaulan pendidikan.
Berbagai lingkungan internal dan eksternal sekolah tersebut dapat didayagunakan untuk peningkatan kemampuan hidup anak didik. Setiap materi yang dipelajari hendaknya langsung diaplikasikan dalam kehidupan dengan mendayagunakan lingkungan yang ada di sekitarnya. Metode belajar dan pembelajaran dilaksanakan variatif dengan menekankan layanan kepada anak didik sesuai dengan gaya belajarnya. DePorter dan Hernacki (2001) membagi gaya belajar siswa menjadi tiga, yaitu: visual (lebih kuat pada lihat), auditorial (lebih kuat pada dengar), dan kinestetik (lebih kuat pada melakukan). Pembelajaran yang menggembirakan adalah yang dapat melayani gaya belajar anak masing-masing.

I. PENATAAN LINGKUNGAN BELAJAR
Lingkungan belajar anak di sekolah perlu ditata sedemikian rupa sehingga anak didik dapat belajar menghadapi lingkungan belajar yang nyaman, cerah dan menyenangkan baik lingkungan fisik maupun mental. Penataan lingkungan belajar bagai menata panggung pentas belajar yang menopang kegairahan belajar. Oleh sebab itu lingkungan belajar harus ditata dengan: 1) menciptakan suasana nyaman dan santai, 2) menggunakan musik yang terjaga agar siswa siap berkonsentrasi, 3) menciptakan suasana hati anak didik dengan pelbagai jenis musik, 4) menggunakan pengingat-pengingat visual untuk mempertahankan sikap positif, dan 5) interaksi dengan lingkungan secara nyata (DePorter dan Hernacki, 2001).
Untuk menciptakan lingkungan yang optimal, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Perabotan yang menyangkut jenis dan cara penataan.
Jenis perabotan yang ditata di ruang belajar di rumah dan di ruang belajar di sekolah disesuaikan dengan gaya belajar anak. Penataan perabotan di ruang belajar dan di kelas yang nyaman memungkinkan anak merasakan suasana batin yang bahagia dan tenteram untuk dapat memulai dan melaksanakan aktivitas belajar secara optimal.
2. Pencahayaan.
Cahaya yang digunakan dalam belajar harus memadai agar tidak melelahkan mata. Pengaturan sumber cahaya harus tidak menimbulkan bayangan yang mengganggu sasaran yang dibaca atau dikerjakan.
3. Musik
Dari hasil penelitian Dr. Georgi Lazanov ditemukan bahwa relaksasi yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi. Hal ini berkaitan dengan detak jantung anak dalam belajar. Ketika mengerjakan pekerjaan mental yang berat, tekanan darah dan denyut jantung meningkat, gelombang otak meningkat, dan otot-otot menjadi tegang. Pengenduran dan relaksasi terjadi melalui suara musik yang mengalun dengan merdu.
4. Lingkungan Visual
Lingkungan visual di tempat belajar dapat menjadi pemacu semangat dan memelihara jiwa seseorang untuk merasa istimewa. Pemampangan poster, gambar, slogan, kata-kata mutiara, piala, plakat penghargaan, sertifikat, ucapan terima kasih, foto keberhasilan yang diyakini membawa dampak positif sangat membantu belajar anak.


5. Lingkungan dunia yang lebih luas.
Lingkungan belajar anak diperluas dengan berinteraksi dengan alam dan situasi sekelilingnya. Apa yang dipelajari dapat langsung diuji-cobakan di lingkungan sekitarnya. Ambillah contoh kecil ada lahan tanah sempit di halaman atau kebun, atau pot. Setelah memperoleh pelajaran IPA, anak dapat mengolah lahan itu sesuai dengan pengetahuannya. Dengan begini anak merasa memiliki prestasi dan memupuk kebanggaan diri untuk melanjutkan pada tahap berikutnya.
6. Temperatur.
Temperatur di mana kita belajar dan bekerja hendaknya diatur sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan perpindahan tempat belajar yang sudah membawa suasana kejenuhan, karena di sekolah-sekolah kita masih miskin sehingga belum mampu memasang air conditioner.
7. Tanaman dan Binatang Kesayangan.
Lingkungan yang nyaman terdapat tanaman baik di kelas maupun di luar kelas dan binatang kesayangan yang di samping menciptakan suasana lingkungan yang kondusif sekaligus sebagai medan belajar bagi anak didik.
8. Kenyamanan dan suasana hati
Kenyamanan belajar dapat tercipta jika belajar sesuai dengan waktu yang dibutuhkan dan kemampuan fisik dan mental yang dialami. Jika seorang siswa mengacungkan tangan untuk minta istirahat, di situlah waktunya ia minta jeda. Dalam belajar, yang paling diingat anak adalah informasi yang diperoleh pada awal dan akhir dari apa yang dipelajari. Makin banyak masa istirahat, makin banyak informasi yang diingat. Ke dua ketika menjadi letih, perubahan keadaan mental dengan istirahat akan menyegarkan kembali sel-sel otak untuk siap melangkah selanjutnya. Strategi penciptaan suasana pembelajaran semacam ini akan membawa dampat terhadap lebih berhasilnya anak menguasai pengalaman belajarnya.


J. PENATAAN LINGKUNGAN PEMBELAJARAN
Pembelajaran dengan pendekatan joyful-learning berusaha memberikan kebebasan dan kebahagiaan kepada anak didik agar mereka mencapai keberhasilan, kesempurnaan, kepercayaan diri, dan motivasi untuk melaksanakan pekerjaan berikutnya. Pembelajaran yang menyenangkan untuk pembelajaran lingkungan hidup harus ditata sedemikian rapi dan hidup dengan prinsip “Segalanya berbicara”. Perhatikanlah sekeliling kelas, apakah poster tahun lalu yang telah menguning masih terpampang? Dalam konteks apa poster itu relevan? Majalah dinding yang memudar? Susunan buku dan kertas yang berserakan? Rak dan kusen jendela penuh debu tebal? Jika suasana lingkungan kelas kita semacam itu, bagaimana dapat mengubah pribadi anak didik untuk meniru suasana kelas kita? Anak didik kita adalah tamu-tamu agung (sesuai dengan kedudukan mereka sebagai subyek didik) yang harus disambut dengan mempersiapkan rumah sekolah kita dengan sebaik-baiknya. Mereka diundang ke sekolah untuk acara penting, yaitu BELAJAR. Lingkungan yang ada di sekolah menjadi pembentuk pribadi anak didik yang dapat diterapkan di lingkungan rumah, masyarakat, dan kehidupannya.
Sebagai guru, jawaban apa yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan berikut: Apakah buku-buku tertata rapi di rak? Apakah bahan perlengkapan belajar terwadahi tempat khusus? Tersediakah kertas baru untuk majalah dinding? Meja-kursi tertata untuk mendukung proses belajar-mengajar hari itu? Poster untuk matapelajaran terpasang di tempat strategis? Tanaman hijau? Tersedia alat pembersih dan tempat sampah? Lingkungan kelas mengundang dan memikat pelajar? Idealnya, gambar, poster, dan perlengkapan belajar diganti setiap saat untuk menghindari kejenuhan dan menciptakan suasana atraktif yang merangsang belajar anak. Banyak guru yang menanggapi hal ini hanya bisa dilaksanakan di sekolah-sekolah kota. Bisakah diterapkan di lingkungan desa terpencil? Jawabannya adalah bisa. Justru di desa memberikan lingkungan belajar yang serba gratis. Di kota bibit tanaman harus beli, alat pembersih harus membeli, pot bunga harus membeli.
Penggunaan warna yang cerah membawa suasana batin anak gembira baik untuk dinding kelas maupun perlengkapan belajar yang disediakan sekolah. Alat bantu mengajar dan belajar akan sangat membantu anak berinteraksi dengan lingkungannya sehingga tidak saja menopang persepsi verbal tetapi juga persepsi konkrit anak. Alat bantu ini dapat berupa benda sesungguhnya, bisa bentuk tiruan tiga dimensi, dapat pula dalam bentuk foto atau gambar.
Membawa anak ke luar kelas dan ke luar sekolah akan sangat membantu interaksi anak dengan lingkungan. Pergi ke sawah, ke gunung, taman, makam, candi, pasar, dsb. akan membawa suasana batin anak relaksasi sambil belajar.
Pengaturan meja-kursi di kelas akan membawa suasana segar dalam belajar. Sekali waktu meja dirapatkan ke dinding ketika memberikan tugas perorangan, sementara di tengah dapat digunakan untuk bimbingan kelompok kecil; dapat juga bentuk tapal kuda, atau lingkaran, atau kursi diputar menjadi kelompok-kelompok kecil. Anak di kelas dapat belajar di lantai atau di pojok-pojok kelas tanpa harus menggunakan bangku.
Tumbuhan, aroma, hewan kesayangan, penerangan, ventilasi, dan musik menjadi paduan okestratik dalam penciptaan iklim belajar yang bernuansa lingkungan untuk mendukung belajar anak. Dengan penciptaan lingkungan belajar semacam ini anak akan merasa “home” sehingga anak akan tidak tertekan secara psikologis tetapi justru dibuat “kangen” untuk datang ke sekolah. Bukankah hal semacam ini bisa dilaksanakan di pelosok tanah air?

K. PEMBELAJARAN QUANTUM
Dewasa ini muncul satu sistem pembelajaran yang sejalan dengan era otonomi dan desentralisasi manajemen pendidikan, yaitu Quantum Learning and Teaching. Sistem ini dilandasi oleh filsafat konstruktivistik. Anak didik menjadi pusat perhatian (subyek didik) yang harus dilayani, berkembang sesuai dengan irama, minat, dan kemampuannya secara maksimal. Fungsi guru adalah menjadi fasilitator dalam pembelajaran. Guru mendapatkan ijazah adalah adalah pemberian wewenang untuk mengajar. Bukan hak untuk mengajar. Yang memiliki hak belajar adalah anak didik.
Beberapa prinsip yang mendasari Belajar Quantum adalah:
1. Psikolinguistik
2. Teori otak kanan (rasional, sistematis) dan otak kiri (sintetik, semantik, integral)
3. Teori otak triune (3 in 1):
4. Modalitas belajar: visual-auditif-kinestetik (VAK)
5. TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasi, Ulangi, Rayakan)

Belajar-Mengajar Quantum (BMQ) bercirikan: bebas, santai, menyenangkan, mentakjubkan, menggairahkan, dan membahagiakan. Keberhasilan belajar-mengajar quantum adalah siswa sejahtera.
Ada 8 kunci keunggulan yang harus ditumbuhkan melalui belajar-mengajar quantum: kejujuran, kegagalan adalah awal kesuksesan, niat baik (berfikir positif), pola pikir kekinian, komitmen, tanggungjawab, sikap luwes, dan hidup seimbang. Siswa berkembang secara mandiri. Intinya adalah siswa menjadi mandiri. Delapan kunci keunggulan ini dikembangkan melalui kurikulum yang dipelajari oleh siswa. Bawalah dunia siswa ke dunia kita dan hantarkan dunia kita ke dunia siswa. BMQ menekankan pada belajar ketrampilan belajar dan belajar ketrampilan hidup berdasarkan variasi proses belajar dengan membangkitkan motivasi belajar yang menggairahkan, menyenangkan, jalinan hubungan yang simpatik, siswa adalah mitra belajar, belajar mengambil resiko, keteladanan, dan rasa mampu dengan menetapkan target di atas garis sehingga berkualitas tinggi dengan penciptaan lingkungan belajar yang kondusif.

L. PENUTUP

Pendekatan pendidikan ke depan berupaya menciptakan suasana belajar dan sumber belajar yang memungkinkan anak didik mencapai kesejahteraan batin dalam belajar dengan penuh kebebasan, sesuai dengan gaya belajar anak masing-masing. Oleh sebab itu perlu diupayakan secara sistemik dan integral kurikulum yang menopang nuansa lingkungan yang menggairahkan, nyaman, aman, dan merangsang kreatifitas anak dalam belajar. Kurikulum yang dirancang didasarkan atas pembentukan manusia Indonesia seutuhnya seperti termaktup dalam UU dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, sehingga keseluruhan aspek kepribadian anak dapat tercakup di dalamnya.
Untuk menciptakan lingkungan belajar yang menggairahkan dan menyenangkan, tidak cukup hanya mengubah pendekatan di tataran praksis, tetapi mendasar pada paradigma pendidikan yang dianut di negara kita. Tampaknya filsafat yang mulai perlu ditoleh adalah filsafat humanistik dan konstruktivistik yang sangat relevan dengan pendekatan pendidikan dewasa ini. Penempatan anak sebagai subyek didik yang senyatanya hanya dapat terlaksana dengan baik jika kita mengorangkan orang dan menganakkan anak dalam suasana pendidikan yang harmonis dengan menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan mendayagunakan lingkungan itu untuk proses pembelajaran, agar anak didik tidak terisolir dari dunianya sendiri.

DAFTAR BACAAN

Altbach, Phillip G. (ed.). 1982. Comparative Education. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Community Participation in Strategic Education Planning for School Improvement. 1998. Menuju Pendidikan yang Lebih Baik bagi Anak-Anak Kita, Materi Pelatihan Perencanaan Mikro. Kerjasama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).

Craft, A. (ed). 1992. Quality Assurance in Higher Education: Proceedings of an International Conference. London: The Falmer Press.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 2 Panduan Penyusunan Proposal dan Pelaporan MPMBS. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 3 Panduan Monitoring dan Evaluasi Program. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum.

DePorter, B. dan Hernacki, M. 2001. Quantum Learning: Membiaskan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Asli New York: Dell Publishing.1992. Terjemahan Alawiyah Abdurrahman Penyunting Sari Meutia. Bandung: PT Mizan Pustaka.

DePorter, B., Reardon, M. dan Singer-Nouri, S. 2001. Quantum Teaching: Orchestrating Student Success. Asli Boston: Allyn and Bacon 1999. Terjemahan Ary Nilandari Penyunting Femmy Syahrani. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Directorate Kindergarten & Primary School MONE Indonesia. 2001. Country Report, Decentralizing Basic Education for Quality Improvement Toward School Based Management and Community Participation. Bandung: Sub-Regional Training Workshop.

Hoy, C., Bayne-Jardine, C. dan Wood, M. 2000. Improving Quality in Education. London: The Falmer Press.

Lee, M. dan Lee, D.M. 1940. Child and His Curriculum. New York: Aplenton Century.

Leonard, L.D. dan Utz, R.T. 1974. Building Skills for Competency-Based Teaching. New York: Harper & Row, Publishers.

Murgatroyd, S. dan Morgan, C. 1993. Total Quality Management and the School. Milton Keynes: Open University Press.

North Central Regional Educational Laboratory (NCREL). 1995. Decentralization: Why, How, and Toward What Ends?. NCREL’s Policy Briefs, report 1.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kebijaksanaan Umum, Pendidikan Dasar dan Menengah. Edisi Agustus 2001. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sekolah Dasar. Edisi Agustus 2001. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Sekolah Menegah Umum. Edisi Agustus 2001. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Kompetensi Umum Pendidikan Dasar dan Menengah. Edisi Agustus 2001. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Ragan, W. B. 1960. Modern Elementary Curriculum. 3rd Ed. New York: Rinehart and Winston.

Saylor, G.J. dan Alexander, W.M. 1958. Curriculum Planning for Better Teaching and Learning. New York: Rinehart and Company, Inc.

Skilbeck, M. (Ed.). 1988. Readings in School-Based Curriculum Development.
London: Paul Chapman Publishing Ltd.

Soetopo, H. dan Soemanto, W. 1982. Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Soetopo, H. 1999. Desentralisasi Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah. Malang: Jurs. AP FIP Universitas Negeri Malang.

Soetopo, Hendyat. 2001. Pengembangan Sekolah Laboratorium Unggulan. Malang: Unit Pengembangan Sekolah Laboratorium Universitas Negeri malang.

Soetopo, Hendyat. 2000. Peran Serta Masyarakat dalam Pengembangan Pendidikan Sekolah. Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan Proposal Peningkatan Mutu Pendidikan bagi Pengurus BP3 dan Pengelola Sekolah di Kabupaten Klaten.

Suparman, A. 2002. Kontinuitas, Relevansi Kurikulum, dan Kualitas Pendidikan di Indonesia. Makalah Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta bekerjasama dengan Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan.

Thoha, Miftah. 1998. Desentralisasi Pendidikan. Makalah Diskusi Prospek Pendidikan Masa Depan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Thomas, R. Murray (ed.). 1983. Schooling in East Asia. New York: Pargamon Press.

Tyler, R.W. 1949. Basic Principles of Curriculum and Instruction. Chicago: The University of Chicago Press.

UNESCO. 1995. Report of the Cmmision on Education for the Twenty First Century. http://firewall.unesco.org/education/educnews/delors eng. hlm. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan pesan.....

  © Blogger templates The Professional Template and Copyright 2009 Http://duniaartikelpendidikan.blogsot.com 2009 ---------By suhartono (Email : suhartono_unm20@yahoo.com and FB : thono_jhoe_unm) --------

Back to TOP