Senin, 31 Mei 2010

Alternatif Pengaturan/Pengawasan Pendidikan di Indonesia

1. Pendahuluan

Era reformasi, yang berintikan perlunya terjadi perubahan sistem dari pemerintahan sentralistik ke desentralistik yang bersifat otonomis demokratis, telah mengguncang seluruh sistem kerja pemerintahan di segala bidang dan sektor, termasuk pula pada bidang pendidikan. Secara teoretik guncangan ini pastilah bersifat sementara dan akan bergerak menuju kesuatu keseimbangan baru yang sesuai dengan paradigma baru sistem pemerintahan yang memang telah terwacanakan pada diri masyarakat dan bangsa Indonesia ini.

Bentuk desentralisasi yang diharapkan terjadi atau muncul, sebagai produk reformasi, yang sekarang telah berada pada periode transisi, merupakan sub-era yang sangat kritis dan krusial. Sub-era transisi ini merupakan persimpangan menuju ke keadaan yang lebih baik atau justru ke keadaan yang lebih buruk, karena secara teoretik, pada era ini terjadi pertarungan konseptual antara filosofi pembaharuan dan filosofi kemapanan (status quo) baik pada kelompok-kelompok masyarakat yang memang memiliki visi dan misi berbeda, maupun pada suatu kelompok dengan visi dan misi yang sama, dan bahkan dapat pula terjadi pada diri orang perorang (masing-masing individu) sebagai akibat dari adanya dinamika dialektika berpikir dari masing kelompok masyarakat dan/atau individu yang bersangkutan.


Pada sub-era transisi ini, semua gagasan perubahan, baik mikro maupun makro, harus berhadapan dengan hambatan dan tantangan yang menuntut solusi yang justru tidak atau belum terkondisi oleh sistem yang ada, atau bahkan sistem yang ada inilah, pada hakikatnya, yang justru menjadi sumber dari munculnya hambatan dan tantangan terhadap upaya solusi yang diharapkan itu sendiri.

Dalam bidang pendidikan, masa transisi termaksud di atas telah berproses dengan produk utamanya adalah UU Sistem Pendidikan Nasional. Lepas dari bahwa UU ini memuaskan atau tidak memuaskan bagi berbagai lapisan masyarakat yang ada di Indonesia, UU Sisdiknas yang telah diundangkan tersebut harus dimanfaatkan untuk menjawab tantangan dan mencari solusi segala masalah pada bidang pendidikan, baik dari sisi internal maupun eksternal (antar bidang atai antar departemen).

Salah satu masalah yang ada pada bidang pendidikan adalah pada sub bidang pengawasan pendidikan dasar dan menengah. Misi pengawasan yang pada era sebelum reformasi terumuskan sebagai menguji, mengusut, dan menilai tentu saja tidak relevan atau bahkan bertentangan bagi upaya pengembangan pendidikan berbasis otonomi daerah karena salah satu karakteristik otonomi daerah adalah terbukanya peluang untuk berbuat yang berbeda berdasar kondisi nyata daerah yang bersangkutan sehingga dapat dicapai hasil yang optimal.

Paper ini mencoba menggali alternatif pemikiran dasar tentang prinsip atau arah dasar sistem pengawasan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia ini, khususnya pada sub-era transisi di mana semua daerah sedang bergelut dan bergulat untuk mendapatkan format pengawasan yang lebih baik setelah melepaskan diri atau terlepas dari sistem pengawasan yang sekian lama ada dan berlaku secara ketat atau liat baik secara stuktural maupun kultural.

2. Pengawasan Pendidikan

Pada era sebelum informasi pola sistem pengawasan adalah menguji, mengusut, dan menilai. Pola pengawasan ini lebih berjiwa tuntutan terhadap kriteria yang telah ditentukan atau dibakukan dan tidak menunjukkan dukungan bagaimana tututan itu sendiri dapat dipenuhi. Padahal, diketahui benar bahwa kondisi di lapangan masih sangat heterogen dan dengan rentang yang sangat tajam. Kelemahan konseptual pada pola ini adalah kehendak untuk membangun keseragaman keluaran tanpa melihat kenyataan bahwa kondisi yang dikenai kriteria keluaran sangat berbeda. Bukankah adalah suatu ilusi kalau dapat dibangun kesamaan keluaran dari kenyataan heterogenitas yang sangat tajam, kecuali terhadap kenyataan yang heterogen tajam tersebut diberi dukungan untuk mengurangi atau meniadakan heterogenitas tersebut.

Akibat dari tuntutan keluaran yang tidak masuk akal tersebut maka baik petugas pengawasan maupun pihak yang diawasi harus bermain kucing-kucingan dengan semangat memasukkan semaksimal mungkin data (yang sangat mungkin fiktif) agar institusinya selamat dari kritikan yang tak berkesudahan. Pihak yang diawasi berusaha menutupi sekuat mungkin kelamahan institusinya. Berusaha menonjolkan segala nilai yang sekecil apapun untuk menghibur atau mengelabui pihak pengawas. Kalau perlu diperpendek waktu pengawasannya atau bahkan kecermatan pengawasannya ”ditutup” dengan basa-basi, buah tangan, atau rupiah.

Era reformasi telah mengajak semua pihak untuk mengubah paradigma, namun paradigma baru ini masih kabur realisasi atau operasionalisasinya karena yang dimiliki memang baru paradigmanya dan belum diikuti oleh perangkat pendukung realisasinya. Di sisi inilah munculnya tantangan bagaimana seharusnya sistem pengawasan baru perlu dikembangkan, yaitu suatu sistem pengawasan yang dapat membuka hubungan timbal balik antara pengawas dan yang diawasi dengan semangat bersama bersama-sama ingin meningkatkan kualitas pendidikan yang ada.


3. Pemberdayaan Sistem Pendidikan

Pada hakikatnya tidak ada komunitas institusi pendidikan yang berpengharapan bahwa institusinya tidak maju, apalagi mundur. Namun realitas kondisi yang dihadapi oleh masing-masing institusi untuk mengembangkan atau memajukan institusinya memang sangat beragam baik dalam macam maupun bobotnya. Secara alami, semua institusi akan berupaya mengembangkan atau sekurang-kurangnya mempertahankan agar kualitas kinerja tidak menurun. Keberhasilan mereka sangat ditentukan oleh peluang atau potensi yang ada yang secara nyata melingkupi kinerja institusi tersebut masing-masing. Dengan demikian masing-masing institusi akan berhadapan dengan masing-masing setting kerja dan kinerjanya masing-masing pula.

Keragaman situasi dan kondisi setting masing-masing institusi ini pada galibnya menuntut inisiasi yang kreatif sejalan dengan kondisi atau setting masing-masing. Seni mengolah setting secara kreatif inilah nampaknya kunci peluang bagi institusi masing untuk mengembangkan dirinya. Namun, inisiasi kreatif ini tidak akan muncul atau sangat sulit untuk muncul kalau ketentuan-ketentuan yang diberlakukan terhadap institusi itu sangat ketat seperti yang selama ini diimplelemtasikan dalam bentuk pengawasan bergaya polisi yang berhadapan dengan penyeleweng ketentuan dan bukan bergaya orang tua yang mengasuh anaknya agar selalu dapat menyelesaikanmasalah yang dihadapi.

Dari uraian di atas tampaknya merupakan suatu imperatif untuk mengembangkan sistem pengawasan pendidikan yang justru memacu institusi yang diawasi untuk dapat menggali secara kreatif apapun yang ada dan potensial di setting masing-masing agar secara optimal dapat menunjang perkembangan institusi pendidikan yang menjadi tanggung-jawab dan tanggung-gugat dari puhak yang diawasi. Sementara gagasan ini dirumuskan sebagai sistem pengawasan penmdidkkan dasar dan menengah berbasis atau berwawasan pemberdayaan.


4. Pengawasan Berwawasan Pemberdayaan

Konsep berdaya terkait dengan setting ruang, waktu, dan kemampuan riil dari komunitas penyelenggara pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian, konsep pemberdayaan terkait pula dengan kemungkinan penggalian dan pemanfaatan segala kemampuan komunitas yang secara riil ada. Agar semangat dan etos kerja para penyelenggara selalu berkembang dan meningkat maka dasar penilaian dalam pengawasan mestinya berupa prestasi sebagai fungsi dari situasi dan kondisi setting masing-masing institusi penyelenggara.

Tentu saja tidak adil kalau yang dijadikan tolok ukur adalah keluaran (output) yang distandarkan karena kriteria output saja pada dasarnya tidak menyertakan bobot upaya dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing penghasil output. Jadi perlu dicari kriteria yang lain untuk memacu dan memicu perkembangan dan pertumbuhan kinerja komunitas penyelenggara pendidikan dasar dan menengah.

Secara selintas, kriteria tersebut perlu menekankan proses pencapaian keluaran dan dengan keluarannya sendiri perlu berorientasi pada keluaran yang bersifat outcome dan bukan output. Dapatkah hal ini dikembangkan? Jawabannya tentu saja perlu menggunakan sejumlah penelitian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan pesan.....

  © Blogger templates The Professional Template and Copyright 2009 Http://duniaartikelpendidikan.blogsot.com 2009 ---------By suhartono (Email : suhartono_unm20@yahoo.com and FB : thono_jhoe_unm) --------

Back to TOP